radikalisasi digital copy

Radikaliasi di Ruang Digital Makin Nyata dan Mudah Menyasar Generasi Muda

Jakarta – Ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat keras bahwa radikalisasi di ruang digital semakin nyata dan mudah menyasar generasi muda. Di balik peristiwa tersebut, para ahli melihat adanya jejak paparan ideologi ekstrem yang tersebar melalui media sosial—ruang yang seharusnya menjadi tempat kebaikan, namun sering disalahgunakan untuk memelintir ajaran agama.

Pakar terorisme Noor Huda Ismail menilai, insiden itu tidak bisa dipisahkan dari proses radikalisasi daring.

“Ada indikasi pelaku terpapar konten dan manifesto ekstremis,” ujarnya, Kamis  kemarin.

Ia menegaskan bahwa jika manifesto tersebut benar berasal dari pelaku dan memiliki motif politik tertentu, maka aksi itu bisa masuk kategori terorisme. Namun, ia tetap menunggu hasil investigasi resmi untuk memastikan konteksnya.

“Bisa jadi manifesto itu bukan buatan dia. Kita tunggu hasil penyelidikan,” katanya.

Noor Huda menjelaskan bahwa kelompok ekstrem kini menggunakan media sosial seperti pelaku bisnis: membangun jaringan, memperluas pengaruh, dan mencari pengikut baru. Jaringan seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dikenal aktif menyebarkan ideologi kekerasan melalui dunia maya.

Namun, ia menekankan bahwa radikalisasi modern tidak lagi bersifat tunggal. “Seseorang bisa terpengaruh dari banyak kelompok berbeda, fenomena yang kita sebut Salad of Radicalisation,” jelasnya.

Kelompok ekstrem kerap menanamkan kebencian kepada pihak yang dianggap musuh, lalu membungkusnya dengan dalil agama yang keliru. Pemerintah atau kelompok yang tidak sejalan diposisikan sebagai tagut, narasi yang sengaja diciptakan untuk melegitimasi kekerasan.

Noor Huda menilai BNPT perlu menggandeng kuat platform digital seperti Meta, TikTok, dan Instagram agar konten berbahaya bisa diblokir cepat. Namun ia juga menekankan pentingnya peran sekolah dan lembaga pendidikan Islam dalam memperkuat literasi digital dan literasi keagamaan yang lurus.

Generasi muda perlu memahami: cara kerja algoritma, bahaya filter bubble, risiko manipulasi ayat atau hadis di internet, serta pentingnya bertanya pada guru atau ulama yang kredibel.

Tanpa dua literasi ini—digital dan agama—remaja mudah terseret narasi radikal yang dikemas secara emosional.

Sebagai informasi, ledakan di SMAN 72 terjadi pada Jumat, 7 November 2025. Sebanyak 96 orang—mayoritas siswa—mengalami luka-luka. Simbol dan tulisan pada atribut pelaku mengindikasikan keterkaitan dengan ideologi ekstrem. Pelaku juga diduga mempelajari pembuatan bahan peledak melalui tutorial internet.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa menjaga ruang digital agar tetap bersih dari ideologi kekerasan adalah tugas bersama—negara, platform digital, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan seluruh masyarakat.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

bullying

Bullying yang Merenggut Nyawa: Saat Pendidikan Kita Kehilangan Jiwa Islamnya

Kasus perundungan yang berujung kematian—termasuk yang baru-baru ini terjadi di Tangerang—sekali lagi mengguncang kesadaran kita …

TOT Moderasi Beragam UIN Maliki Malang

Merawat Iman di Era Digital: UIN Maliki Malang Siapkan Dosen Muda sebagai Penebar Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Batu — Di tengah kesejukan alam Kota Batu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang membuka Training …