Jakarta – Radikalisme dan terorisme tak ada kaitannya dengan agama apapun. Tapi memang pelaku radikalisme dan terorisme itu mayoritas dilakukan oleh pelaku yang menganut agama mayoritas di suatu negara.
“Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun, apalagi dengan Islam,” ujar Ahmad dalam diskusi bertajuk “Mencintai NKRI dari Balik Jeruji: Efektivitas Deradikalisasi Napiter di Indonesia” di Jakarta, Selasa (28/5/2024).
Nurwakhid menjelaskan keterkaitan radikalisme dengan agama muncul karena oknum umat beragama yang salah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.
“Ini biasanya menunggangi agama mayoritas di suatu wilayah atau negara,” tambahnya.
Contohnya, aksi teror di Selandia Baru yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, justru dilakukan oleh oknum agama Kristen, sementara korbannya adalah penganut agama Islam. Kemudian di India, pelaku terorisme dilakukan oknum beragama Hindu, begitu juga di Myanmar, oknum pelaku terorisme beragana Budha.
Menurutnya, aksi teror di Indonesia umumnya dilakukan oleh oknum agama Islam karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam.
“Kebetulan di Indonesia itu mayoritas muslim sehingga semua teroris yang kami tangkap dan kami tahan KTP-nya Muslim,” ucapnya.
Nurwakhid menekankan terorisme tidak hanya mengatasnamakan agama. Dalam perspektif ketahanan nasional Indonesia, radikalisme dibagi menjadi tiga jenis: ekstremisme kanan, ekstremisme kiri, dan ekstremisme lainnya.
“Ekstremisme kanan atau radikalisme kanan ini yang mengatasnamakan agama, apapun agamanya,” tutur Nurwakhid
Ia mengungkapkan, ekstremisme kiri mengatasnamakan paham tertentu, seperti komunisme, sementara ekstremisme lainnya bisa berupa sekularisme dan separatisme. Ketiga jenis radikalisme ini telah terjadi di Indonesia dan berujung pada aksi terorisme maupun pemberontakan.
Nurwakhid mengingatkan pentingnya memperkokoh konsensus nasional dengan mempraktikkan nasionalisme moderat melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Kalau tidak dibatasi dengan moderasi atau moderat, nasionalisme juga bisa berujung pada fasisme,” sambungnya.
Ia menambahkan penanggulangan terorisme harus dilakukan secara holistik dari hulu ke hilir. Pertama, BNPT mengupayakan kesiapsiagaan nasional dengan cara menumbuhkan ideologi antiradikalisme di masyarakat.
“Kedua, kontraradikalisme. Baik itu kontra-ideologi, kontranarasi, maupun kontrapropaganda, terutama di dunia maya. Keterpaparan terorisme saat ini hampir 80 persen karena dunia maya,” pungkas Nurwakhid.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah