Jakarta – Masyarakat Indonesia dikejutkan denagan sebuah ledakan bom bunuh diri oleh seorang teroris di Polsek Astana, Kecamatan Anyar Bandung, Jawa Barat. Peristiwa memilukan yang mengakibatkan pelaku korban meninggal di tempat dan beberapa aparat kepolisin menderita luka-luka berat dan dievakuasi ke rumah sakit bahkan satu diantaranya dikabarkan telah meninggal dunia.
Masyarakat tentu bertanya-tanya mengapa di tengah kemajuan peradaban dunia yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi masih ada orang yang rela melakukan tindakan konyol dan biadab seperti itu, relah bunuh diri dengan cara yang mengerikan ? apa yang mereka cari? dan apa yang mendorong mereka sehingga rela melakukan hal tersebut!.
Kemudian mungkin juga masyarakat bertanya-tanya selalu polisi yang menjadi target dan di markaz mereka? Kenapa bukan di tempat-tempat maksiat misalnya ? Berikut ulasan Sekretaris Umum Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), KH. Suib Tahir, Lc. Ph.D melalui tulisan yang diterima islamkaffah pada Minggu, (11/12/22).
Terorisme Tidak Punya Logika
Terorisme adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak menggunakan logika tetapi menggunakan pemahaman. Dalam menerima doktrin yang dikedepankan adalah emosi, ilusi, perasaan bukan logika. Salah satu bentuk pemahaman terorisme dalam masalah keagamaan adalah mereka yang tidak menjalankan syariat atau hukum Allah adalah kafir. Kafir dalam pandangan mereka halal darahnya dan boleh menyita harta kekayaannya.
Pemahaman ini muncul akibat dari doktrin tentang Tahkim artinya hukum hanya pada Allah tidak ada hukum selain hukum Allah. Jadi mereka yang tidak menjalankan hukum Allah, maka ia adalah kafir. Ungkap Kiai Suaib.
Bagi kelompok teroris Indonesia tidak menjalankan hukum Allah karena tidak menjalankan sistim pemerintahan Khilafah dan tidak menerapkan syariat Islam karena itu para anggota legislative, eksekutif dan yudikatif adalah thogut artinya mereka adalah kelompok yang dhalim karena mengabaikan perintah tuhan. Polisi sebagai aparat keamanan dianggap sebagai ujung tombak pelaksanaan semua ini karena itu menjadi target mereka.
Pemahaman tentang kafir inilah yang mendorong mereka siap dan relah melakukan bunuh diri demi untuk menegakkan hukum Allah karena yanag demikian itu adalah bagian dari perjuangan dalam menegakkan syariat Allah dan siapapun yang meninggal dalam memperjuangkan syariat Allah maka ia mati syahid. Jadi tiga hal ini mereka salah memahami yaitu tahkim (hukum Allah), kafir dan syahid. semuanya disalah pahami.
Ideologi Tahkim dan Takfiri
Ideologi tentang tahkim dan takfir memang memiliki akar sejarah dalam salah satu sekte Islam tetapi sekte ini tidak diterima oleh ulama-ulama salafussalih karena dianggap menyimpang dalam memahami nas-nas Alquran. Kelompok ini disebut khawarij atau kelompok yang keluar dari pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Tholib Radiallahu anhu karena menganggap Khalifah Ali tidak menjalankan hukum Allah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara sesama orang Islam kala itu. Padahal langkah Khalifah Ali bin Abi Tholib yang menunda penyelesaian konflik itu adalah dalam rangka meredahkan situasi bukan berpihak pada satu kelompok dan itu sangat bijaksana.
Sesat Pikir Kelompok Terorisme
Pemahaman mereka tentang tahkim sangat letterlek dan dalil yang dikemukakan tentang tahkim ini bukan pada tempatnya. Ayat ini lebih merujuk pada fenomena umat yang terjadi kalangan ahlul kitab sebelum nabi datang karena itu ayat yang menjadi landasan mereka lebih menceritakan kondisi umat lain tetapi mereka giring untuk menjustifikasi syahwat politik mereka. Doktrin ini semakin kuat karena beberapa ulama memfatwahkan bolehnya melakukan bunuh diri untuk mempertahankan keyakinan seperti yang dilakukan oleh rakyat Palestina dalam membela negaranya.
Kemudian kesalahan yang kedua adalah kesalahan dalam melabeli seseorang menjadi kafir akibat dosa yang dilakukan seseorang. artinya orang-orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, berzina, merampok atau mencuri adalah kafir. Jadi jika seseorang melakukan dosa besar maka mereka menghukum orang itu kafir termasuk ketika sebuah pemerintahan yang tidak menjalankan hukum Allah maka mereka termasuk orang-orang kafir yang halal darahnya dan boleh menyita harta kekayaannya.
Pemahaman mereka ini tentang kafir, adalah mengaitkan perbuatan seseorang dengan keimanannya. Artinya jika seseorang melakukan dosa besar seperti membunuh atau dhalim atau tidak menegakkan hukum Allah maka ia adalah thogut dan thgohut itu adalah kafir karena bagian dari setan. Polisi, pejabat pemerintah anggota legislative adalah semuanya thoghut karena membuat hukum dan menjalankan hukum yang bukan hukum Allah maka mereka adalah kafir. Ini adalah kesalahan fatal karena mengaitkan perbuatan seseorang dengan keimanannya dan menghukum kafir bagi mereka yang dianggap tidak menjalankan hukum Allah seperti pemerintahan di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Ulama Ahlussunnah Waljamaah yang ajarannya mayoritas dianut oleh umat Islam Indonesia tidak memahami demikian. Maksudnya perbuatan seseorang apakah dosa kecil atau dosa besar tidak bisa dikategorikan pelakunya kafir karena iman yang ada dalam jiwanya kadang berkurang dan kadang bertambah.
Ketika seseorang melakukan dosa atau kesalahan maka kemungkinan saat itu imannya lagi turun dan begitu juga sebaliknya ketika seseorang melakukan kebaikan maka pada saat itu imannya lagi kuat dan meningkat. Bisa saja seseorang melakukan kesalahan atau dosa besar seperti membunuh, menganiaya tetapi setelah itu dia sadar dan menyesali perbuatannya dan menjadi orang baik. Yang demikian itu tidak bisa dihukum kafir karena pelabelan kafir hanya bagi mereka yang tidak ada iman terhadap tuhan dalam hatinya, selama ada iman atau kepercayaan terhadap Allah maka tidak boleh dilabeli kafir. Jangkan sesama muslim dengan agama lainpun tidak boleh dilabeli kafir karena mereka yang beragama pasti ada dalam hatinya keimanan terhadap tuhan. Dalam Alquran misalnya Allah berfirman
إن الذين امنوا والذين هادوا والنصاري والصابئين من أمن بالله واليوم الأخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولاخوف عليهم ولاهم يحزنون (البقرة 62)
Artinya; Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang Yahudi dan nasrani serta sabiin maka mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal soleh maka bagi mereka pahala di sisi tuhannya dan tidak ada kekhawatiran dan ketakutan dan kesedihan bagi mereka.
Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa kita tidak boleh menghakimi orang lain sebagi kafir karena Allah sudah menjamin mereka yang beriman kepadaNya dan beramal soleh akan mendapatkan pahala di sisiNya. Karena itu tidak bisa sembarangan menuduh dan menganggap orang lain kafir sehingga boleh dibunuh.
Orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW atau pengikutnya disebut mukminin, orang-orang yang menjadi pengikuti Nabi Mousa AS disebut Yahudi dan mereka yang menjadi pengikuti Nabi Isa AS disebut Nasrani dan mereka yang menjadi pengikut nabi-nabi dan orang-orang saleh selain ketiga nabi itu disebut sabiin dan jika semua ini percaya kepada tuhan dan hari kiamat mereka dijamin oleh Allah mendapatkan pahala di sisinya.
Tetapi bagi kelompok radikal teroris bukan saja yang beda agama bahkan yang sesama agamapun dianggap kafir dan ahli neraka
Ini adalah salah satu kesalahan fatal dalam doktrin radikal terorisme yang melabeli orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai kafir dan menganggap orang lain bukan bagiannya bahkan memperlakukannya di luar kewajaran seperti menyasar aparat kepolisian yang tidak berdosa.
Apa yang terjadi di Polsek Astana memberikan petunjuk kepada kita bahwa kita harus selalu waspada terhadap penyebaran paham-paham radikal terorisme yang dapat menjerumuskan kita ke dalam kesesatan bukan saja kepada diri kita sendiri tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat yang ada di sekitar kita. Karena perlu sekali sinergi semua pihak secara aktif mendukung pemerintah dalam menangani penyebaran paham-paham radikal terorisme baik di media sosial maupun di masyarakat paling tidak di lingkungan kita masing-masing.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah