Pengurus MUI jadi saksi ahli sidang Panji Gumilang

Sidang Penistaan Agama Panji Gumilang, MUI Beberkan Sejumlah Pandangan Keahlian

Jakarta – Sidang kasus penistaan agama oleh bos Al Zaytun, Panji Gumilang digelar di Pengadilan Negeri Indramayu Rabu (17/1/2024). Pada sidang ini tiga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir menjadi saksi ahli untuk memberikan pandangan keahlian yaitu Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH M Cholil Nafis, dan Wakil Ketua Komisi Fatwa Prof Amin Suma. 

Dalam kesaksiannya, Kiai Cholil Nafis membenarkan adanya unsur penodaan agama yang dilakukan pimpinan Ponpes Al Zaitun saat menyampaikan ceramahnya di dalam masjid beberapa waktu lalu.

“Kita menyampaikan kepada hakim bahwa di dalamnya terdapat unsur ketidak sopanan, di dalam uraian soal umat islam di masjid,” ujar Kiai Cholil.

Tidak hanya itu, dalam ceramahnya, Panji Gumilang juga menyebut bahwa Allah SWT tidak mengerti bahasa Melayu. Kiai Cholil Nafis mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan salah satu kriteria unsur penodaan agama.

“Ada unsur penodaan agama menurut kriteria MUI tentang kalamullah, dan tentang Allah SWT tidak mengerti bahasa melayu. Alhamdulillah kami sudah sampaikan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia,” kata Kiai Cholil dikutip dari laman MUIDigital.

Menurut Kiai Cholil, hal tersebut secara terang-terangan menodai salah satu sifat yang dimiliki Allah SWT, yakni sifat Al-Alim, yang memiliki arti bahwa Allah SWT Mahamengerti segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

“Berkenaan dengan bahwa Alquran itu deklarasi Nabi Muhammad SAW, dan mengatakan kalau itu (Alquran) kalamullah berarti Allah nanti tidak mengerti bahasa melayu. Nah, itu mengurangi sifat Allah al-‘Alim,” ujar Kiai Cholil.

“Itulah delik menurut fatwa kriteria penodaan agama MUI termasuk penodaan agama kepada Allah SWT,” kata dia.  

Selain beberapa poin yang disebutkan diatas, dalam sidang tersebut Kiai Cholil juga menyampaikan tentang perkataan Panji Gumilang yang menyebutkan bahwa masjid hanya ada di Vatikan, dan masjid di Indonesia hanya untuk orang-orang yang berputus asa.

Menurut Kiai Cholil, membanding-bandingkan tempat ibadah umat Islam merupakan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pimpinan Pondok Pesantren. Hal ini tentu menambah deretan perkataan kontroversi Panji Gumilang.

“Membandingkan masjid (di Indonesia) dibandingkan dengan vatikan, itu adalah ungkapan yang kurang sopan, menyinggung orang Islam pastinya¸” ungkapnya.

Sementara Ketua MUI Bidang Fatwa, Kiai Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan dua fatwa yang berkaitan dengan kasus Panji Gumilang, yakni Fatwa Nomor 38 Tahun 2023 dan Fatwa Nomor 47 Tahun 2023.

“Saat memberikan kesaksian ahli tadi, saya memberikan penjelasan ihwal Fatwa Nomor 38 Tahun 2023 tentang hukum perempuan menjadi khatib Jumat bagi jamaah yang ada laki-lakinya. Kedua, Fatwa Nomor 47 Tahun 2023 2023 tentang ajaran keagamaan Panji Gumilang,” ujar Kiai Ni’am.

“Saya memberikan penjelasan mengenai latar belakang pembahasan dan penetapan fatwa, dalil-dalil yang digunakan, proses tabayun, proses klarifikasi, proses otentifikasi, hingga penetapan fatwa keagamaannya,” kata guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.  

Lebih lanjut, Kiai Ni’am menyampaikan, bahwa dalam persidangan tersebut dirinya menjelaskan terkait kemengikatan fatwa yang masih awam dipahami oleh masyarakat.

“Yang pertama mengenai kemengikatan fatwa, fatwa itu kan tidak mengikat, tadi saya jelaskan bahwa fatwa memiliki kemengikatan secara syar’i. Dengan demikian, sekalipun tidak ada instrumen hukum pemaksa, tetapi secara syar’i dia mengikat,” tuturnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Ni’am mengatakan bahwa ke dua fatwa yang dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi salah satu acuan bagi pihak Bareskrim Polri untuk menetapkan hukum terkait keagamaan yang menjerat Panji Gumilang.

“Fatwa ini diminta aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah Bareskrim Mabes polri. Maka, dalam upaya penyidikan, fatwa ini menjadi salah satu rujukan dan juga panduan di dalam menetapkan aspek keagamaan, apakah dia masuk dalam kategori menodai agama Islam atau tidaknya,” kata dia.  

Sebelumnya dalam sidang perdana terhadap pimpinan Al Zaytun itu, jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan primer berkaitan dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 1 Tahun 1946, mengenai menyiarkan berita bohong hingga sengaja menerbitkan keonaran di tengah masyarakat.

Untuk subsidernya berkaitan dengan Pasal 14 ayat (2) sama juga tentang berita bohong. Lebih subsider lagi Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar berlebihan dan tidak lengkap.

Selain itu, Tim JPU juga mendakwa Panji Gumilang dengan UU ITE yakni Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

“Di mana UU itu intinya adalah untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama ras antargolongan atau SARA.

Untuk dakwaan lainnya, yakni Pasal 156 Huruf (a) KUHP mengenai kesengajaan di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

keluarga sakinah

Tiga Kunci Mewujudkan Keluarga Sakinah

Berdasarkan data Kementerian Agama pada tahun 2022 angka perceraian secara nasional 516.334 kasus. Angka ini …

047959700 1710778747 830 556

Ketum Muhammadiyah Ingatkan Pendidikan Nasional Jangan Jadi Pabrik Robot

YOGYAKARTA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi momentum untuk mengingatkan kembali bahwa sejatinya pendidikan tidak …