Banyak orang beranggapan bahwa penyebab manusia merugi sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. al-’Ashr adalah karena mereka tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Secara sekilas, anggapan ini seolah-olah benar. Jika kita tidak memanfaatkan waktu dengan baik, maka kita akan rugi. Kita tidak akan dapat apa-apa karena waktu kita terbuang secara percuma. Padahal, waktu adalah salah satu aset yang paling berharga, dan bagaimana manusia menggunakannya akan menentukan apakah mereka merugi atau tidak. Namun, anggapan ini sesungguhnya keliru, tidak sebagaimana yang dimaksudkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِۙ
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran (Q.S. al-’Ashr [103]: 1-3).
Di awal ayat, Allah bersumpah “demi waktu” dengan menggunakan term “ashr”, bukan term lainnya. Padahal di dalam al-Qur’an, ada banyak term yang digunakan untuk menyebut kata “waktu”, di antaranya adalah ‘ajal, dahr, waqt, dan ‘ashr. Menurut Quraish Shihah dalam Tafsir al-Mishbah, pemilihan term ‘ashr untuk menyebut kata “waktu” bukanlah tanpa alasan.
Menurutnya, dalam surat ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata ‘ashr, bukan selainnya, adalah untuk menyatakan bahwa: Demi waktu (masa) di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya (dan keringatnya—pent.), sesungguhnya ia merugi—apa pun hasil yang ia capai itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh. Kerugian tersebut mungkin tidak akan langsung dirasakannya di awal waktu, tetapi pasti akan dia sadari pada waktu “ashr kehidupannya” menjelang “matahari hayatnya” terbenam.
Ayat di atas menegaskan bahwa semua manusia diliputi oleh kerugian, namun mengecualikan mereka yang melakukan empat hal pokok, yaitu: kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Dari ayat di atas dapat ditarik benang merah bahwa ‘hanya orang-orang yang beriman, beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran’ saja yang akan selamat dari “kutukan merugi”, dan keimanan menjadi prasyarat pertamanya. Lalu, mengapa iman menjadi prasyarat pertama agar manusia tidak merugi? Jawabannya ada di dalam Q.S. al-Kahfi [18] ayat 103-106.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا
ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah perlu kami beri tahukan orang-orang yang paling rugi perbuatannya kepadamu? (Yaitu) orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhannya dan (kufur pula terhadap) pertemuan dengan-Nya.) Maka, amal mereka sia-sia dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat. Itulah balasan mereka (berupa neraka) Jahanam karena mereka telah kufur serta menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan (Q.S. al-Kahfi [18]: 103 -106).
Dalam ayat di atas Allah Swt. menjelaskan bahwa orang-orang yang paling rugi adalah orang-orang yang mengira bahwa mereka telah melakukan amal kebajikan, tapi ternyata amal mereka tersebut hilang-sia-sia. Allah tidak menghidupkan timbangan amal bagi mereka saat hari kiamat (Yaumul Mizan) kelak, sehingga mereka dianggap tidak memiliki amal kebajikan sedikit pun. Ternyata oh ternyata, penyebabnya adalah karena semasa di dunia, mereka tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menganggap dusta ayat-ayat Allah dan para utusan-Nya. Karena perbuatannya itu, mereka dihukum-dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam, sebuah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan di alam akhirat. Jadi, penyebab manusia merugi bukanlah karena mereka tidak memanfaatkan waktu dengan baik, tetapi karena mereka tidak melandasi amal kebajikan dengan keimanan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib, ayat ini mencakup golongan Haruriyah, sebagaimana tercakup pula ke dalam pengertian orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Dan makna ayat bukan berarti bahwa ia diturunkan berkenaan dengan mereka secara khusus, melainkan pengertiannya lebih umum dari itu. Sesungguhnya makna ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang menyembah Allah bukan melalui jalan yang diridai. Orang itu menduga bahwa jalan yang ditempuhnya benar dan amalnya diterima, padahal kenyataannya dia keliru dan amalnya ditolak, sebagaimana yang disebut oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), (Q.S. al-Ghasyiyah: 2-4).
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan (Q.S. al-Furqan: 23).
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun (Q.S. an-Nur: 39).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Sungguh kelak di hari kiamat akan datang seorang lelaki gendut, tetapi timbangan (amal)nya di sisi Allah tidak menyamai berat sayap nyamuk pun. Lalu Abu Hurairah berkata, “Bacalah oleh kamu ayat berikut jika kamu suka,” yaitu firman-Nya: Maka Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat (Q.S. al-Kahfi: 105).
Itulah akibatnya jika manusia tidak beriman; sebanyak apa pun amalnya, tetap tidak akan dihitung. Iman menjadi legitimasi amal perbuatan. Amal sholih yang tidak dilandasi dengan keimanan, maka amalnya tidak dianggap. Nilainya nol. Wallahu a’lamu bi al-showaab.