metode tafsir2
metode tafsir2

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159 : Musyawarah Sebagai Dasar Politik Dan Pemerintahan dalam Islam

Politik Islam dipahami mulai sebagai politik yang dilakukan oleh umat Islam dalam bentuk partai politik, mengagendakan Islam dalam peraturan kenegaraan sampai kepada penggunaan Islam untuk kepentingan pribadi, politik partai dan kelompok. Tulisan ini menggambarkan bahwa politik Islam dalam Al-Qur’an banyak berbicara tentang nilai dan prinsip politik Islam, yang pada kajian ini membahas surat Ali Imran ayat 159 yang berkenaan dengan musyawarah.

Dengan menganalisa ayat ini dari beberapa tafsir, tulisan ini berargumen bahwa musyawarah merupakan salah satu nilai dan prinsip politik Islam yang dipentingkan dalam Al-Quran. Tafsir ini malah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam pada waktu itu sering mengambil keputusan yang berasal dari para sahabat sebagai keputusan bersama, bukan keputusan yang bersumber dari dirinya sendiri.

Dengan demikian, tulisan ini menunjukkan bahwa salah satu nilai dan prinsip politik Islam dalam Al-Qur’an adalah anjuran untuk melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan banyak orang dan dengan melibatkan banyak orang. Tulisan ini juga menunjukkan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak, bukan suara pemimpin politik saja, adalah keputusan yang sesuai dengan nilai dan prinsip politik Islam dalam Al-Qur’an.

Asbab Nuzul Surah Ali Imran Ayat 159

Allah swt berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Asbabun Nuzul ayat ini adalah berkaitan dengan masa perang Badar di masa Rasulullah SAW. Pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam peperangan badar dan banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat termasuk Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Abu Bakar memberikan pendapatnya bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya dengan membayar tebusan.

Pendapat ini dianggap pandangan yang menunjukkan Islam itu lunak. Umar bin Khathab mengusulkan hal yang berbeda, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Pandangan ini diangap pendapat yang keras. Dari dua pendapat yang bertolakbelakang ini Rasulullah sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ke 159 yang menegaskan Rasulullah SAW untuk berbuat lemah lembut dan memilih pendapat Abu Bakar.

Jika pandangan yang menunjukkan keras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati tawanan sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik untuk melepaskan tawanan. Di sisi lain, ayat ini memberi peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan.

Namun demikian, Asbabun Nuzul ayat ini lebih banyak dikaitkan dengan kejadian sesudah perang Uhud yang terjadi sebelum perang Badar. Ketika itu, sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi SAW. Akibat pelanggaran tersebut kaum musyrikin dapat mengalahkan mereka dalam perang Uhud, dan Rasulullah SAW mengalami lukaluka. Namun Nabi SAW tetap bersabar, menahan diri, dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sahabatnya. Sikap Rasulullah itu adalah sesuai dengan perintah Al-Quran.

Sebab dalam peristiw aitu, banyak sekali ayat-ayat yang diturunkan untuk merespon kegagalan tersebut. Di situ dibahas kelemahan yang dialami sebagian kaum muslimin, pelanggaran mereka terhadap perintah yang sudah disepakati, serta kesemberonoan yang mereka lakukan. Bahkan disebutkan pula mengenai prasangkaprasangka dan bisikan-bisikan hati yang jelek. Tetapi Rasulullah tetap bermusyawarah dengan mereka dalam membahas persoalan tawanan dengan pasukannya pada perang berikutnya, perang Badar, seperti yang dijelaskan pada Asbabun Nuzul ayat sebelumnya.

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159

Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini menjelaskan sikap Rasulullah SAW terhadap para sahabatnya dalam mengambil keputusan. Menurut beliau, banyak di antara para sahabat Nabi orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan perlakuan keras menurut karakter umum manusia. Hal ini menurut mufassir ini karena mereka para sahabat Nabi telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan strategi perang dengan mengabaikan perintah yang sudah disepakati sebelumnya. Kesalahan para sahabat ini tidak mengurangi penghargaan Rasulullah kepada para sahabat dalam mendengarkan dan berdiskusi dalam berbagai masalaha bersama.

Dalam tafsirnya al-Maraghi, beliau menjelaskan bahwa Nabi selalau berpegang kepada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum muslimin. Al-Maraghi memberikan beberapa contoh musyawarah yang pernah dilakukan Rasulullah dalam sejarah. Musyawarah pada waktu perang Badar. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah mengetahui bahwa orang-orang Quraish telah keluar dari Mekah untuk berperang. Nabi yang berada di Medinah tidak langsung mengambil keputusan untuk berperang langsung menerima sikap perang yang ditunjukkan oleh bangsa Quraish yang menentang Nabi pada waktu itu.

Keputusan perang Badar antara Nabi dengan kaum Ansar dan Muhajirin terjadi setelah Nabi bermusyawarah dengan mereka dan menyepakati isi perjanjian perang tersebut. Tafsir al-Maraghi juga menjelaskan bahwa Rasulullah tidak menetapkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Menurut beliau, kaidah-kaidah musyawarah berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain dan satu masa ke masa yang lain. Yang penting diperhatikan dalam musyawarah tersebut adalah keterlibatan mereka yang terkait dengan keputusan yang akan diambil dalam musyawarah tersebut, seperti melibatkan kaum Ansar dan kaum Muhajirin dalam perang Badar di atas karena kedua kaum tersebut terlibat langsung dalam keputusan perang yang akan dijalani.

Al-Maraghi dalam tafsir ayat ini juga menjelaskan bahwa musyawarah merupakan sikap politik yang terabaikan setelah Rasulullah meninggal. Beliau me – lihat bahwa hanya pada masa Abu Bakar musyawarah masih dijalankan terutama ketika Abu Bakar diterima secara musyawarah, menurut beliau, sebagai khalifah pertama, pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Setelah itu, apalagi pada masa khalifah Abbasiyah, umat Islam, menurut al-Maraghi, tidak lagi melakukan musyawarah dalam kegiatan politik. Oleh karena itu, Al-Maraghi menjelas – kan bahwa jika banyak orang menilai bahwa kepemimpinan dalam Islam itu mendukung pemimpin dictator, maka pandangan itu bukan berdasarkan prilaku politik Islam berdasarkan Al-Quran.

Manfaat Musyawarah Dalam Berpolitik

Tafsir Al-Maraghi, lebih jauh, menjelaskan manfaat musyawarah dalam mengambil kebijakan politik. Pertama, musyawarah akan menunjukkan keterbukan informasi dalam mencapai kebijakan untuk kemashlahatan umum. Musyawarah akan membuat opini, pendapat dan pemikiran yang mendukung atau menolak serta mempertimbangkan satu kebijakan bersifat terbuka dan diketahui semua peserta musyawarah. Dari keterbukaan opini, pendapat dan pemikiran tersebut akan terlihat, menurut Al-Maraghi, keikhlasan dan kecintaan seseorang terhadap kepen tingan umum, bukan kepentingan pribadi dankelompok.

Manfaat musyawarah kedua menurut Tafsir Al-Maraghi adalah munculnya pandangan yang beragam dari semua peserta musyawarah. Munculnya pandangan yang beragam ini kemudian akan memungkinkan munculnya kelebihan dari satu pandangan daripada pandangan yang lain. Yang mungkin saja menurut beliau pandangan yang memiliki kelebihan tersebut bukan berasal dari para pemimpin atau penguasa di masyarakat. Tafsir al-Maraghi kemudian menjelaskan manfaat musyawarah ketiga yaitu pengujian opini, pendapat dan pemikiran. Dalam musyawarah semua pandangan dimunculkan dalam semua pandangan tersebut dinilai dan disepakati pandangan mana yang akan menjadi pandangan bersama. Menurut Al-Maraghi, pandangan yang terbaiklah yang akan menjadi pandangan atau keputusan bersama.

Terakhir, manfaat musyawarah menurut Tafsir Al-Maraghi, adalah keterkaitan hati antar semua peserta musyawarah. Mereka yang sering bermusyawarah akan merasa saling mengerti dan memahami teman diskusinya. Dengan menetapkan kemashlahatan bersama sebagai tujuan musyawarah maka semua orang akan merasa bersama dalam merencanakan, menjalankan dan mengevaluasi kegiatan. Oleh karena itu, Al-Maraghi mengbandingkan musyawarah bersama banyak orang dengan shalat berjamaah dengan banyak orang juga.

Tafsir Al-Maraghi juga menggunakan hadis dan riwayat-riwayat lain dalam menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini. Misalnya, Beliau mengutip sebuah hadis dari Abu Hurairah dalam Tafsirnya yang berarti “Tidak satu kaumpun yangmelakukan musyawarah melainkan akan ditunjuk kan jalan yang paling benar dalam persoalan mereka”. Hal ini menunjukkan bahwa musyawarah bersama mereka yang terlibat dalam persoalan yang dimusyawarahkan merupakan nilai dan prinsip politik Islam dalam Al-Quran.

Berdasarkan penjabaran di atas, musyawarah (mencari dan mendapatkan kesepakatan) dengan banyak orang merupakan nilai dan prinsip politik Islam berdasarkan Al-Quran. Makalah ini telah menunjukkan bahwa politik Islam yang sering dipahami sebagai aktivitas partai politik Islam, peraturan bernuansa agama dan penggunaan Islam untuk kepentingan di luar agama, bukan merupakan Politik Islam sesuai ayat ini. Ayat ini, seperti yang telah dijelaskan dalam tulisan ini, menyebutkan bahwa Politik Islam itu sebagai nilai dan prinsip politik yang mengedepankan musyawarah. Musyawarah mufassir merupakan nilai dan prinsip politik pemerintahan yang penting dalam Al-Qur’an. Menurut mufassir tersebut, para pemimpin harus bisa mendengarkan suara rakyat dalam mengambil kebijakan public dan mendengar pandangan banyak orang tersebut merupakan nilai dan prinsip politik Islam.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Syah Alfarabi

Check Also

syawal

Lima Peristiwa Penting dan Pelajaran Pada Bulan Syawal

Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah yang terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqa’dah. …

al quran hadits

Takhrij dan Analisis Matan Hadis Terbelenggunya Setan pada Bulan Ramadan

Hadis yang merupakan sumber kedua bagi kehidupan beragama kaum Muslimin, menjadi hal yang banyak disoroti …