menunggu orang sakit

Tidak Shalat Jum’at karena Menjaga Orang Sakit?

Ketika salah satu anggota keluarga jatuh sakit, biasanya ada satu atau lebih anggota keluarga yang bergantian menjaganya. Baik di rumah maupun di rumah sakit, mereka siap menemani agar kebutuhan si sakit segera terpenuhi. Selain itu, mereka sering kali membaca Al-Qur’an, khususnya Surah Yasin, di dekat yang sakit. Hal ini dilakukan dengan harapan memperoleh kesembuhan dari Allah atau agar si sakit meninggal dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik).

Namun, ada pertanyaan fikih terkait kewajiban shalat Jumat bagi laki-laki yang menjaga keluarga sakit. Apakah dalam kondisi ini mereka boleh meninggalkan shalat Jumat dan cukup menggantinya dengan shalat Dhuhur?

Para ulama fikih, termasuk Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu’ (4/356) dan Al Hawi al Kabir (3/34), berpendapat bahwa dalam kondisi tertentu, kewajiban shalat Jumat bisa gugur. Jika sakitnya tergolong parah, orang yang menjaga—baik anak maupun orang tua—diperbolehkan tidak shalat Jumat. Hal ini dianggap sebagai uzur (alasan yang dibenarkan) dalam meninggalkan shalat Jumat.

Jika yang menjaga bukan orang tua atau anak, diperbolehkan tidak shalat Jumat dengan syarat tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Dalam kondisi ini, meskipun tidak ada hubungan keluarga antara yang sakit dan yang menjaga, ia tetap diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat. Bahkan, jika kehadirannya memberikan hiburan bagi yang sakit, meskipun sakitnya tidak terlalu parah, ia juga boleh tidak shalat Jumat dan cukup menggantinya dengan shalat Dhuhur.

Dengan demikian, kewajiban shalat Jumat gugur bagi anak yang sedang menunggui ayahnya yang sakit, atau orang tua yang menjaga anaknya yang sakit, baik di rumah maupun di rumah sakit. Hukum yang sama berlaku bagi orang lain yang bukan keluarga, tetapi tidak ada orang lain yang bisa menjaga atau menemani yang sakit. Bahkan, jika kehadirannya membuat yang sakit merasa terhibur, ia boleh tidak shalat Jumat.

Salah satu hikmah dari pandangan hukum ini adalah memberikan kesempatan bagi keluarga atau orang lain untuk mentalqin (menuntun membaca syahadat atau mengucapkan kata “Allah”) menjelang ajal. Hal ini penting agar setan tidak mengganggu yang sakit, sehingga mereka tetap dalam keadaan iman dan Islam di akhir hayatnya.

Selain itu, orang yang menjaga bisa lebih fokus melayani kebutuhan yang sakit, seperti makan, minum, mengonsumsi obat, dan kebutuhan lainnya. Dalam kondisi sakit, seseorang sering kali kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri.

Pendapat para ulama ini mengandung maslahat (kebaikan) yang sangat besar. Oleh karena itu, wajar jika keluarga yang menjaga orang sakit diperbolehkan tidak shalat Jumat dan cukup menggantinya dengan shalat Dhuhur. Bahkan, mereka yang tidak memiliki hubungan keluarga pun mendapatkan keringanan ini jika tidak ada keluarga yang bisa menjaga atau menemani, atau jika kehadiran mereka memberikan hiburan bagi yang sakit.

Dalam situasi tertentu, terutama saat menjaga anggota keluarga yang sakit parah, kewajiban shalat Jumat bisa gugur. Hal ini didasarkan pada pandangan para ulama yang memberikan uzur bagi mereka yang menjaga orang sakit, baik yang memiliki hubungan keluarga maupun tidak, asalkan tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya atau kehadirannya memberikan hiburan bagi yang sakit. Keputusan ini diambil demi kemaslahatan yang lebih besar, baik bagi yang sakit maupun yang menjaganya.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

Perbedaan Hukum Memakan Daging Kurban

Ibadah Kurban: Berkurban Tapi Dimakan Sendiri, Bolehkah?

Lazimnya, daging hewan kurban diberikan kepada fakir dan miskin. Orang yang berkurban atas nama dirinya …

haid saat ihram

Hukum Ihram Wanita Haid: Panduan Lengkap Berdasarkan Fikih

Dalam pelaksanaan ibadah haji, ada dua istilah yang harus dipahami, yaitu rukun haji dan wajib …