ulama melayu

Ulama NU dan Ulama Melayu; Seikat Bagai Sirih Serumpun Bagai Serai

Pepatah pada tema searti dengan pribahasa “setali tiga uang”, alias tidak ada beda antara ulama-ulama NU dan ulama-ulama tanah Melayu. Persamaan keduanya terletak pada tradisi dan model keberagamaan. Kesimpulan ini saya peroleh setelah membaca biografi Syaikh Ali bin Faqih al Fathani, mufti kedua Kerajaan Mempawah pengganti Sayyid Husein al Kadrie buah tangan Wan Muhammad Shaghir Abdullah, peneliti sejarah ulama-ulama Melayu. Sekaligus mengokohkan dugaan awal madzhab fikih Sayyid Husein al Kadrie yang ternyata memang pengikut setia Imam Syafi’i.

Tema ini hadir berawal dari keprihatinan terhadap fenomena di Kalimantan Barat yang menjadi zona merah perkembangan paham radikal. Kelompok muslim radikal bergerak secara massif menyebarkan sel-sel radikalisme beragama diberbagai lini. Di kampus-kampus, forum diskusi, mimbar pengajian dan mimbar khutbah paham radikal dihembuskan tiada henti. Beberapa orang yang insyaf bercerita banyak tentang massifnya gerakan kelompok radikal di Kalimantan Barat. Bahkan, bisa dikatakan, “Kalbar darurat radikalisme”.

Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang dipancangkan dengan kokoh oleh para ulama-ulama Melayu di tanah Borneo ini mulai digerus. Tradisi ber-Islam secara moderat mulai digusur secara halus dan pelan namun pasti.

Ulama-ulama tanah Melayu telah menanamkan Islam Ahlussunah wal Jama’ah sebagai benteng menolak paham-paham yang tidak sesuai dengan misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Seperti telah dimaklumi, ahlussunah wal jama’ah yang dimaksud adalah mereka yang dalam fikih mengikuti salah satu empat madhab (Madhab Imam Syafi’, Maliki, Hanbali dan Imam Hanafi), dalam akidah berkiblat pada Imam Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi dan dalam bidang tasawuf berkiblat pada Imam Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Ulama-ulama Melayu di awal penyebaran Islam di Kalimantan, Khususnya Kalimantan Barat, telah menanamkan nilai-nilai ber-Islam ala Ahlussunah wal Jama’ah. Salah satunya diperankan oleh Syaikh Ali bin Faqih al Fathani, ulama besar asal Pattani, Thailand Selatan.

Beliau datang ke Kalimantan Barat, tepatnya di Mempawah, tahun 1160 H/1747 M. Waktu itu Mempawah diperintah oleh seorang raja bernama Opu Daeng Manambon, raja pertama Kerajaan Islam di Mempawah, bangsawan dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan. Setelah menghadap raja (sultan), Syaikh Ali bin Faqih al Fathani diijinkan untuk tinggal di Mempawah.

Setelah meninggalnya Mufti pertama Kerajaan Mempawah, yakni Sayyid Husein bin Ahmad Jamalul Lail, Syaikh Ali bin Faqih diangkat sebagai penggantinya berdasarkan wasiat Mufti pertama, bahwa satu-satunya orang yang layak menggantikan dirinya adalah Syaikh Ali bin Faqih.

Dilansir dari tulisan Wan Muhammad Shaghir Abdullah di laman ulamanusantara.blogspot.com, Syaikh Ali bin Faqih al Fathani dan Sayyid Husein al Kadrie, keduanya merupakan ulama besar ternama dan alim. Dalam fikih berpedoman pada Madhab Syafi’i, dalam akidah mengikuti Abul Hasan al Asy’ari dan bidang tasawuf berkiblat pada ulama-ulama sufi mu’tabar seperti Imam Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Disinilah kesamaan antara ulama-ulama Melayu dengan ulama-ulama NU. Sama-sama mempedomani Islam inklusif dan akomodatif. Merespon budaya dan tradisi lokal masyarakat setempat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan kata lain, mewarnai budaya dan tradisi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu, menyebarkan dan memperkenalkan agama Islam dengan akhlak mulia; lembut dan kasih sayang.

Sangat mungkin sekali, kesamaan ini karena baik ulama-ulama NU maupun ulama-ulama Melayu masing-masing memiliki hubungan guru dan murid, sama-sama berguru pada ulama yang sama, atau guru-guru mereka memiliki hubungan dan keterkaitan isnad keilmuan.

Sebagaimana diketahui, sejak abad 15 dan selanjutnya ulama-ulama dari berbagai penjuru di dunia yang belajar di Haramain membuat jaringan ulama kosmopolitan, tak terkecuali mereka yang berasal dari Nusantara. Sehingga, tak heran kalau ciri keberagamaan ulama-ulama NU dan ulama-ulama Melayu memiliki kesamaan sebab isnad keilmuan mereka berasal dari sumber yang sama.

Seperti di Kalimantan Barat, sejak kedatangan Sayyid Husein dan Syaikh Ali bin Faqih, Barzanji, Nadzam Burdah dan wirid-wirid selalu terdengar, khususnya di malam Jum’at. Amaliah-amaliah yang saat ini dipraktekkan kelompok Nahdliyyin sebenarnya, bahkan jauh sebelum berdirinya NU, juga telah dipraktekkan oleh ulama-ulama Melayu.

Artinya, tardisi Islam ahlussunah wal jama’ah pernah subur di bumi Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat. Tapi entah kenapa, saat ini tradisi keberagamaan seperti itu mulai padam tergantikan oleh paham-paham lain yang bertolak belakang dengan ahlussunah wal jama’ah. Karenanya, mari kita kembalikan dan kita ambil lagi apa yang telah diwariskan oleh ulama-ulama di Kalimantan seperti Syaikh Ali bin Faqih al Fathani, Sayyid Husein al Kadrie dan ulama-ulama Melayu yang lain yang telah mewarisi kita Islam ala Ahlissunnah wal Jama’ah.

 

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …