Ulama Perempuan

Ulama Perempuan Berperan Strategis Sebagai Penghubung Sistem dan Nilai di Masyarakat

Jakarta – Ulama perempuan memiliki peran strategis sebagai penghubung antara sejumlah sistem dan nilai yang berlaku di tengah masyarakat. Pernyataan itu diungkapkan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Wahid dalam acara Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan yang diselenggarakan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (18/5/2025).

“Para ulama perempuan adalah jembatan antara umat dengan sistem nilai Islami sejati. Mereka yang awam menjadi lebih paham di mana ibadah dan kehidupan dilandaskan pada semangat Islam rahmatan lil alamin,” ujar Alissa dikutip dari NU Online, Selasa (20/5/2025).

Menurut Alissa, ulama perempuan adalah jembatan dari masyarakat terutama perempuan yang menerima apa adanya sistem sosial terutama perempuan yang kritis dan berkemajuan. “Para ulama perempuan adalah jembatan antara mereka yang lemah dan dilemahkan, duafa, dan mustadh’afin dengan kondisi yang kuat dan setara bagi semua,” tegasnya.

Alissa yang juga Dewan Pertimbangan KUPI, menyebutkan bahwa para ulama perempuan adalah jembatan antara pembatasan kepada perempuan dengan penghargaan atas kemerdekaan yang setara dengan kaum laki-laki yang sama-sama berdaya.

“Ulama perempuan adalah jembatan antara sistem yang tidak memberi ruang kepada perempuan yang ketakutan terhadap kekuatan perempuan dengan sistem yang merayakan kekuatan perempuan sebagai pembentuk peradaban,” tutur putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut.

Alissa juga menekankan bahwa para ulama perempuan adalah jembatan antara realita saat ini dengan masa depan yang dicita-citakan. Ia menjelaskan bahwa peran ulama perempuan dapat memberikan ruang hidup yang terbaik yang sama dan setara kepada setiap insan baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi insan kamil.

“Para ulama perempuan adalah jembatan dari sikap kompetitif antarinsan atas nama gender menjadi sikap kolaboratif berlandaskan teori keyakinan bahwa semua gender mampu memberikan yang terbaik bagi terwujudnya khoiru ummah,” kata Alissa.

Sebagai contoh, ia menyebut Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari merupakan pelopor pendirian pesantren putri, yang membuka akses pendidikan bagi santri perempuan. Selain itu, ada pula Siti Aisyah We Tenriolle dari Suku Bugis, tokoh emansipasi perempuan yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan melalui pendidikan dan literasi.

Ia menambahkan tokoh perempuan lainnya yang patut untuk dikenang, antara lain Nyai Siti Sarah dan Nyai R Djuaesih, yang berperan penting dalam pembentukan organisasi Muslimat NU.

“Mari, kita coba bayangkan gerakan perempuan muslim Indonesia tanpa Siti Walidah Ahmad Dahlan diparuh pertama abad 20 dan tanpa Nyai Sholihah Wahid Hasyim diparuh kedua abad 20, dan tentu para ulama perempuan lainnya,” tandas Alissa.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

060567700 1740995185 830 556

Santri Dari Mutholaah Kitab Kuning Ke Digital

JAKARTA — Santri bukan sekedar pembelajar di pondok pesantren namun lebih jauh santri menjadi penjaga …

082479700 1601026076 830 556

Kiprah Pendiri Pesantren Lirboyo di Medan Perang Kemerdekaan

Jakarta – KH. Abdul Karim atau yang biasa disapa Mbah Manab muassis Pondok Pesantren Lirboyo …