Jakarta – Gelombang demonstrasi yang berujung ricuh tidak hanya menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi, tetapi juga menyimpan ancaman yang lebih berbahaya. Kerusuhan massa kerap menjadi ruang bagi kelompok radikal-terorisme untuk masuk, terutama dengan memanfaatkan sentimen agama sebagai alat legitimasi gerakan mereka.
Pakar keamanan dan terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengingatkan bahwa aksi massa yang tidak terkendali berpotensi besar ditunggangi pihak-pihak yang ingin menyebarkan paham ekstrem.
“Ini sangat mungkin ditunggangi, bahkan merupakan pola klasik. Dalam teori gerakan massa, energi publik yang terkumpul bisa menjadi bahan bakar siapa saja. Massa yang besar, marah, dan emosional sering kali tidak punya kendali penuh, sehingga kelompok teror mudah masuk dan menyusupkan narasinya,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).
Khairul menegaskan, kelompok radikal biasanya oportunis. Mereka kerap menempel pada isu-isu yang sedang panas, menyusup untuk memperkeruh suasana, bahkan membawa simbol atau narasi keagamaan agar gerakan mereka terlihat memiliki legitimasi moral. Padahal, tujuan utama mereka bukan membela agama, melainkan menjustifikasi ideologi ekstrem.
“Kerusuhan sering mereka jadikan panggung untuk menuding bahwa sistem yang ada telah gagal, lalu menawarkan ideologi mereka seolah jalan keluar. Ironisnya, agama kerap diperalat hanya sebagai pembungkus narasi,” tegasnya.
Karena itu, Khairul mendorong agar pemerintah melalui lembaga seperti BIN, Polri, TNI, dan BNPT memperkuat deteksi dini serta kontra-narasi.
“Jangan hanya berfokus pada pola serangan klasik seperti bom atau penyanderaan. Aparat harus membaca dinamika sosial-politik dan bagaimana isu keagamaan bisa dipelintir. Densus 88 dan BNPT harus lebih gesit masuk ke ruang digital, agar narasi radikal yang mengatasnamakan agama tidak dibiarkan menguasai ruang publik,” jelas Khairul.
Ia menambahkan, umat beragama juga perlu menyadari bahwa agama tidak boleh dijadikan dalih untuk memecah belah bangsa. Moderasi beragama, menurutnya, menjadi benteng penting untuk mencegah radikalisme menyusup lewat isu-isu sensitif.