fikih dan tasawuf
fikih dan tasawuf

Kombinasi Fikih dan Tasawuf sebagai Jalan Islam yang Kaffah

Persepsi keliru segelintir umat Islam masih bisa dijumpai sampai saat ini. Ada anggapan yang sangat fatal dan keliru yang menganggap tasawuf adalah bid’ah, bahkan sesat. Pandangan serampangan ini tentu saja didasar atas kedangkalan dalam memahami ajaran dan sejarah Islam.

Era di mana ilmu pengetahuan tentang agama seakan ditumpahkan dari langit. Melalui pengajian online, mudahnya menelusur karya ulama salaf dan khalaf yang mu’tabarah dengan perangkat digital, serta tumpah ruahnya para alim yang bisa membantu untuk menjelaskannya. Persepsi keliru, salah sangka terhadap ritualitas keagamaan orang lain tidak lain karena kurangnya pengamalan terhadap perintah wahyu pertama, Iqra’. Kurang membaca dan kurang memahami.

Tasawuf sendiri sebenarnya telah ada sejak masa Nabi di saat malaikat Jibril mengajari beliau tentang Islam, iman dan Ihsan. Mayoritas ulama, baik generasi salaf maupun khalaf mengakui hal itu. Bahkan Ibnu Taimiyah sampai menulis sebuah kitab berjudul Fiqh Al Tasawwuf.

Anjuran untuk berislam secara kaffah merupakan perintah bagi umat Islam untuk beragama secara totalitas. Tidak mengambil sebagian dan membuang bagian yang lain. Firman Allah (Al Baqarah: 85) jelas-jelas melarang tindakan memperturutkan hawa nafsu mengambil sepotong ajaran agama dan melempar potongan yang lain.

Hubungan Fiqih dan Tasawwuf

Dalam sebuah hadis yang cukup panjang, yang dikenal dengan hadis Jibril, hubungan fiqih dan tasawwuf begitu kentara dan sangat jelas. Suatu ketika Rasulullah bersama para sahabatnya sedang duduk-duduk dalam suatu majelis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki, rambutnya sangat hitam, bajunya teramat putih, bersih dan rapi. Orang itu lalu mendekati Nabi dan duduk sangat dekat dengan belaiu.Menempelkan kedua lututnya pada dua lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Nabi.

Laki-laki berparas tampan tersebut kemudian meminta Nabi untuk mengajari dirinya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Nabipun mengajarinya lengkap. Aneh memang karena setiap Rasulullah selesai menjelaskan satu pertanyaan orang itu selalu menjawab “kamu benar”. Sepertinya orang itu tahu jawaban dari apa yang ia tanyakan.

Imam Nawawi dalam Syarh al Nawawi   ‘ala Shahih Muslim menyebutkan bahwa hadis Jibril tersebut menyimpan berbagai ilmu,  ma’rifat, adab dan ilmu-ilmu yang tidak bisa dijangkau oleh indera lahiriah manusia. Bahkan menurut beliau hadis ini merupakan pokok ajaran Islam.

Ibnu Rajab dalam karyanya Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam menjelaskan bahwa yang dimaksud Islam dalam pertanyaan malaikat Jibril adalah segala amal anggota tubuh yang tampak, ucapan maupun perbuatan. Inilah yang disebut fiqih. Sebagaimana bisa dipahami dari definisi fiqih yang dijelaskan oleh para ulama. Salah satunya adalah Tajuddin al Subki dalam Jam’u al Jawami’ yang mendefinisikan fiqih sebagai ilmu yang membahas tentang hukum syariat atas amal-amal dhahir yang digali dari dalil-dalil secara terperinci.

Iman kemudian dijelaskan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan amalan-amalan bathin atau perbuatan hati yang berhubungan dengan keyakinan atau i’tiqad. Ulama tasawuf kemudian membuat istilah dengan sebutan thariqah.

Sedangkan Ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan seorang hamba melihat-Nya. Jika tidak mampu seperti itu, maka seorang hamba harus yakin Allah melihatnya. Senada dengan definisi ini Ibnu Rajab menjelaskan Ihsan adalah ketika beribadah kepada Allah ia merasakan kehadiran dan pengawasan-Nya. Seolah-olah melihat Allah dengan hatinya.

Imam Nawawi juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya Ihsan adalah ikhlas beribadah karena Allah dan merasakan pengawasan-Nya untuk menyempurnakan kekhusyukan dan ketundukan sepenuhnya kepada Allah. Apabila seseorang mampu melakukan hal ini, Allah akan menyingkap rahasia atau hakikat yang tidak diketahui oleh orang lain. Dari sinilah ulama tasawuf lalu menyebut Ihsan dengan sebutan makrifat atau haqiqah.

Inilah hubungan fiqih dan tasawuf yang lekat dan tak bisa dipisahkan. Hubungan erat keduanya ini direkam dalam Hasyiyah al Adawi ‘ala Syarh al Imam al Zarqani ‘ala Matni al Aziyah fi al Fiqh al Maliki yang menyebutkan, “Siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqih maka akan menjadi zindiq. Siapa yang mengamalkan fiqih tanpa tasawuf maka menjadi fasiq. Dan, siapa yang mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat”.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …