ijma
ijma

Ijma’ Jalan Menuju Islam Kaffah

Islam akan selalu berdialog dengan zaman. Kebutuhan dan tantangan umat Islam terus bergulir mengalami pembaharuan. Dalam kondisi itulah, umat Islam telah diberikan dua pedoman penting yakni Qur’an dan Hadist sebagai tongkat dalam meniti perjalanan zaman.

Dalam perjalanannya, tentu saja tidak semua persoalan umat dapat dicari dan digali dari sumber di atas secara detail. Umat Islam dituntut untuk memecahkan persoalan secara bersama-sama dengan tetap berpedoman pada sumber utama. Kesepatakan yang dilandaskan pada persatuan inilah yang disebut sebagai ijma’ umat Islam.

Ijma’ dalam konteks yang lebih luas sejatinya bukan sekedar salah satu metodologi menggali hukum syar’I, tetapi merupakan jalan umat untuk menjaga persatuan. Perbedaan adalah sunnatullah, tetapi perbedaan tidak mesti melahirkan perpecahan. Ijma’ adalah kesepakatan umat dengan tetap bersumber pada pedoman utama.

Pengertian Ijma’

Ijma’ merupakan dalil ketiga yang disepakati seluruh imam Mujtahid setelah al Qur’an dan Hadis. Cakupan kajiannya meliputi seluruh peristiwa yang tidak termaktub secara jelas dalam al Qur’an dan Hadis, yaitu peristiwa yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah, ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah. Yakni, bidang muamalah, kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi yang dalilnya tidak tampil secara jelas dalam al Qur’an dan Hadis.

Dalam bahasa Arab Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus tentang sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah, ijma’ adalah kesepakatan imam mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah meninggal dunia. Sebagai contoh, setelah Rasulullah meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang khalifah untuk menggantikan dan melanjutkan tugas beliau karena waktu itu Islam baru akan berkembang. Para sahabat kemudian sepakat mengangkat seorang khalifah.

Berdasar atas kesepakatan bersama, diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan tersebut, namun pada akhirnya, kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.

Dasar hukum ijma’

Ijma’ didasarkan kepada al Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran. Kombinasi tiga dasar tersebut yang dijadikan pertimbangan utama dalam penetapan hukum dengan metode ijma’. Terutama al Qura’an dan Hadis. Sementara akal, sebetulnya lebih mengarah pada penggalian maqashid al syari’ah sebagai kajian strategis untuk menemukan maksud syari’ atau pembuat hukum, yakni Allah dan NabiNya.

Dasar Qur’an tentang ijma’ dapat dilihat dariayat, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu. ” (al Nisa; 59).Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama.

Ulil amri dalam konteks dunia mencakup raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa.  Sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu  ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

Dalam ayat yang lain Allah menegaskan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai. ” (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai.Termasuk dalam pengertian bersatu ialah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu larangan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

Dalil ijma’ berikutnya,  Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. ” (al Nisa’; 115)

Jalan orang-orang yang beriman adalah Jalan yang disepakati orang-orang beriman. Hal ini dapat diartikan dengan ijma’. Maksud ayat ini ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma’ para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka.”

Sementara, dalil Hadits tentang ijma’ adalah Bila para imam mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah: “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan. ” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Sampai disini sudah jelas, bahwa ijma’ posisinya sebagai dasar hukum setelah al Qur’an dan Hadis tidak diragukan lagi. Menjadi wajar kalau kemudian seluruh imam mujtahid sepakat atas kehujjahan ijma’ sebagai dasar hukum.

Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibangun di atas asas-asas pokok ajaran Islam. Berpijak pada dasar maqasid al syariah.  Yakni, dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan.

Apabila berijtihad menggunakan nas, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, tidak menemukan satu nas pun yang dapat dijadikan dasar, maka dalam berijtihad tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu, boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.

Oleh karena itu, Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang telah tersebut, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al Qur’an dan Hadis, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil utama Itu. Jika imam mujtahid melakukan seperti ketentuan di atas, pendapat tersebut boleh diamalkan. Karena kesepakatan jama’I imam mujtahid yang mengenai hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

Rukun-rukun ijma’

Dari definisi dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ dalam empat kategori. Pertama, harus ada beberapa orang mujtahid di saat terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan dan menetapkan hukumnya.

Kedua, yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan sebagai ijma’.

Ketiga, kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid- mujtahid yang lain. Tidak boleh ada unsur paksaan untuk menyepakati pendapat tersebut. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diambil berdasar hasil musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

Dan keempat, kesepakatan itu  merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian besar mujtahid saja, maka keputusan yang demikian belum sampai pada ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari’ah.

Kemungkinan terjadinya ijma’

Jika membaca sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, lalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu periode Rasulullah, periode Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab dan periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al Qur’an yang telah diturunkan dan hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Beliau adakalanya langsung menjawabnya, kadang  menunggu ayat al Qur’an turunkan Allah. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum atas peristiwa yang mereka alami.

Setelah Rasulullah meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al Qur’an dan al-Hadis. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad,tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma’.

Seandainya ijma’ itu ada, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam di antara kaum muslimin, di samping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah paruh kedua enem tahun kekhalifahan Utsman berjalan, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, nepotisme. Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin menjadi. Khususnya setelah pecah perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah, timbullah kemudian golongan Khawarij, golongan Syi’ah golongan Mu’awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Di samping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah, Rusia Selatan sampai kebagian tengah benua Afrika, mulai ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma’ dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad.  Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, enam tahun pertama Khalifah Utsman dan Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma’, maka ada kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma’ itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma’ lokal.

Dengan demikian, definisi ijma’ adalah keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena mereka dapat dikatakan sebagai ulil amri atau sebagai ahlul halli wal ‘aqdi yang diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

Jenis-jenis Ijma’

Kalau begitu, ijma’ masih mungkin terjadi. Kitab-kitab fikih dan ushul fikih kemudian menerangkan macam-macam ijma’. Dalam literatur fikih dan ushul fikih diterangkan bahwa ijma’ itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri Ijma’ Bayani dan Sukuti. Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi. Sedangkan Ijma’ sukuti, para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, ia dapat dibagi kepada ijma’ Qath’I dan Dhanni. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I, diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Sedangkan Ijma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

Wallahu A’lam

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …