Nama Hotman Paris, si pengacara 30 Milyar, sangat populer di Indonesia. Tidak hanya karena kepiawaiannya dalam memenangkan perkara di pengadilan, melainkan juga sering muncul di layar kaca bersama artis beken lainnya.
Bergelimangan harta sudah barang tentu melekat dalam kehidupan Hotman Paris. Bahkan harta bendanya tidak akan habis dipakai oleh tujuh keturunan sekalipun. Terlebih jika istri dan anak-anaknya sudah sukses juga. Jika dilogika, hidupnya nyaris tidak ada masalah.
Namun siapa sangka. Hotman Paris justru merasakan kegundahan yang luar biasa dalam hidupnya meskipun ia dalam kondisi bergemilangan harta. Melalui akun media sosialnya, Hotman melontarkan kegundah-gulananya.
“36 tahun sudah Hotman menjalani kehidupan debat hukum utk cari makan!! Kemana sebenarnya tujuan hidup!” tulis Hotman Paris di akun media sosialnya, Sabtu (6/3/2021).
Hotman pun menambahkan, “Uang miliaran di bank account hanyalah benda nganggur yg tdk bisa di makan!”.
“Makanan pun di batasi demi kesehatan! Jadi untuk apa ini semuaaaaaaaaaaaaa!??????” ungkap Hotman Paris.
Bisa jadi, apa yang dialami oleh Hotman Paris juga dialami oleh jutaan orang lain di luar sana. Hanya saja, yang viral dan terungkap secara gamblang, salah satunya, kondisi Hotman Paris. Artinya, tidak menutup kemungkinan curhatan Hotman Paris tentang kegalauannya akan makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya itu dialami oleh ‘Hotman Paris-Hotman Paris’ lainnya.
Oleh karena itu, penulis hendak merespon kegelisahan Hotman Paris tersebut dalam kacamata agama (Islam). Memang, Hotman Paris, sejauh pengetahuan penulis, belum masuk Islam (non-Muslim). Namun, yang menjadi sorotan penulis dari sosok Hotman Paris bukanlah ranah aqidahnya, melainkan tentang kegelisahannya.
Penulis juga meyakini bahwa masih banyak orang Islam yang galau, hampa, tidak tau arah ke mana dan untuk apa hidup di dunia ini. Pada tataran inilah, sekali lagi, tulisan ini akan mencoba menguak makna hidup yang sesungguhnya sebagaimana petunjuk yang diambil dari Alquran dan hadis.
Makna Hidup dalam Islam
Kesalahan memahami makna hidup akan berimplikasi pada aktivitas hidup. Jika hidup di dunia ini dimaknai secara dangkal, seperti untuk mencari harta, wanita dan tahta, maka hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun akan sepenuhnya digunakan untuk memenuhi aspek material belaka. Pada titik tertentu, orang yang memaknai hidup seperti ini akan berada di titik kejenuhan, kegalauan dan kebimbangan yang nyaris tak bertepi.
Islam memberikan pedoman kepada umat manusia untuk memaknai dan memanfaatkan kehidupan di dunia dengan lebih baik, penuh makna dan menentramkan. Denny Teguh Sutandio dalam ‘Apa Arti Hidupku? Memaknai Hidup Menurut Sumber Hidup (2011, 100), menyebut hidup sejati adalah dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah. Yang demikian itu senada dengan firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, bahwa manusia dan jin diciptakan-Nya supaya untuk menyembah kepada-Nya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ayat di atas bukan berarti Allah butuh untuk disembah manusia. Melainkan ayat itu turun dalam konteks untuk menguji ketaatan jin dan manusia sebagai makhluk yang telah diciptakan-Nya. At-Thabari (Tafsir Qurtubi/19: 2006, hlm. 507), menambahkan bahwa ayat di atas memberikan pilihan kepada jin dan manusia, yakni antara celaka atau bahagia. Jika hendak meraih kebahagiaan, maka harus tunduk dan taat terhadap aturan Allah. Sebaliknya, jika ingin celaka, maka membangkanglah dari ajaran Allah.
Dalam menjalani kehidupan, manusia dikaruniai Allah harta dan anak-anak sebagai perhiasan dunia (QS. al-Kahfi [18]: 46). Asy-Sya’rawi (1991/14, hlm. 8965) menjelaskan kata ‘zinah’ dalam ayat tersebut sebagai perhiasan yang bukan merupakan kebutuhan pokok, melainkan pelengkap. Sementara kebutuhan pokok adalah kegiatan apa saja yang menjadikan dunia ini sebagai ladang akhirat, perantara untuk hidup kekal yang penuh kebahagiaan (surga).
Dalam QS. An-Nahl [16]: 97 Allah berfirman bahwa barang siapa yang mengerjakan amal shalih dan ia dalam keadaan beriman, maka akan Allah berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayâtun thayyibah). Dari ayat tersebut pula, para ulama memberikan rincian hidup bahagian itu adalah:
Al-Qana’ah.
Yakni ridha menerima pemberian dari Allah (apa adanya), tidak tamak dan tidak dengki melihat orang lain dilebihkan hartanya.
Mencari rezeki yang halal.
Rezeki yang halal dan baik diperlukan tidak hanya semata-mata karena menjauhi larangan Allah, melainkan juga sebagai syarat utama hidup bahagia, penuh dengan makna. Jika rezeki yang kita cari dengan cara yang tidak halal, sudah barang tentu harta yang kita dapat tidak akan menjadikan hidup kita tenang.
Ridha dengan takdir Allah.
Sikap ridho juga diperlukan dalam konteks takdir. Sikap ridho inilah yang akan memberikan ketenangan hidup. Orang bijak berkata, “jadikanlah hidup ini bermakna dan berharga dengan mencari ridho Allah , karena dalam ridho-Nya, ada banyak kebahagiaan.”
Asy-Sya’rawi menggambarkan bahwa sikap ridho akan berpengaruh pada perilakunya dalam keseharian, seperti mempunyai rasa keikhlasan dalam beramal shaleh, mempunyai rasa kerelaan dan ketabahan dalam menghadapi ujian. Sehingga, orang semacam ini, tidak akan pernah merasa cemas dan ketakutan dalam menghadapi dan menjalani kehidupan.
Zuhud dalam urusan duniawi
Zuhud bukanlah sikap membenci dan meninggalkan urusan dunia. Zuhud harus dipahami sebagai membenci kemadlaratan dunia. Jadi, segi negatif dunialah yang harus ditinggalkan. Dalam bahasa Sahl bin Abdullah at-Tsuri dalam Tafsir Fathul Qodir (3/297), zuhud adalah memusatkan tafakkurnya kepada perkara yang haq.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah, bahwa dunia, bagi kaum Muslimin khususnya, adalah sarana menuju kampung akhirat. Inilah tujuan hidup manusia. Karena itu, mari kita kita harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya jangan tertipu oleh dunia. Artinya, kehidupan dunia jangan sampai memperdayakan kita. (QS. Luqman [31]: 33).