muslim ideal
muslim ideal

Mau Silaturahmi Dulu atau Puasa Sunnah Enam Hari Syawal, Pilih Mana?

Bagi umat Islam, tentu tidak ada yang lebih membahagiakan dari pada merayakan hari raya Idul Fitri atau hari kemenangan setelah mampu menunaikan ibadah puasa selama sebulan.

Yang lebih menyenangkan lagi adalah suasana saling bermaafan, dengan demikian dosa-dosa dan kesalahan terhadap orang lain telah terhapuskan. Sebab dosa dan kesalahan terhadap orang lain hanya bisa dimaafkan oleh Allah kalau yang bersangkutan telah memaafkan kesalahan kita.

Namun di tengah suasana yang sangat menyenangkan itu ada hal lain yang harus ditunaikan sebagai penyempurna puasa ramadhan, yaitu puasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, terhitung mulai tanggal 2-7 Syawal.

Di Indonesia tradisi merayakan hari raya Idul Fitri sangat beragam, baik cara maupun lama waktu hari raya. Disebagian tempat di tanah air tradisi berlebaran saling mengunjungi hanya cukup satu hari, yaitu saat hari raya tanggal 1 Syawal. Namun disebagian daerah ada yang merayakan sampai tujuh hari, selama itu silaturahmi dan saling mengunjungi keluarga, sanak kadang, teman dan handai taulan terus berlanjut.

Terkait dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal, tradisi berlebaran yang berlanjut hingga tujuh hari tersebut tidak ada masalah. Sebab ada pendapat ulama fikih yang mengatakan, teknis puasa sunnah Syawal boleh dilakukan kapan saja selama masih dalam bulan Syawal, dan tidak harus berturut-turut.

Persoalannya, kalau kita sedang puasa sunnah Syawal sambil bersilaturahmi dan tuan rumah menyuguhkan makanan dan minuman, atau ada tamu yang datang ke rumah kita dan tentu kita menyuguhkan makan dan minum, sementara kita sedang berpuasa sunnah tersebut. Keputusan apa yang akan kita ambil, berhenti puasa atau lanjut? Begini penjelasannya.

Rasulullah bersabda: “Saudara muslimmu telah bersusah payah (menyediakan makanan) dan kamu berkata ‘Saya sedang berpuasa’. Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya”. (HR. Daruquthni dan Baihaqi).

Perkataan Nabi di atas disampaikan terhadap beberapa orang sahabat yang bersikeras tetap berpuasa sunnah, sementara tuan rumah menyuguhkan makanan dan minuman. Sebagai penghormatan terhadap saudara seiman yang telah berupaya menyuguhkan makanan dan minuman tersebut Rasulullah menganjurkan supaya membatalkan puasa sunnah.

Berdasarkan hadits di atas, Abu Bakar Syatha dalam I’anah al Thalibin, menjelaskan, berdasar ini ulama merumuskan hukum (fikih) bagaimana mengambil sikap terbaik.

Kalau tuan merasa keberatan atau kecewa karena tamu puasa sunnah, maka tamu lebih utama (sunnah) membatalkan puasanya. Sebab membatalkan puasa sunnah tersebut juga merupakan hal yang dianjurkan oleh Nabi. Dengan kata lain, membatalkan puasa sunnah berarti beralih terhadap sunnah yang lain.

Lebih jauh, dalam kondisi seperti ini pahala membatalkan puasa sunnah lebih utama dari pada pahala berpuasa. Hal senada dikatakan oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, menurutnya, termasuk kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman yang berada dalam satu majlis dengan membatalkan puasa (sunnah).

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menghormati tuan rumah yang telah menyuguhkan makanan lebih utama dari puasa sunnah. Disaat bersilaturahmi dan kita disuguhi makanan dan minuman, maka demi menghormati dan supaya tuan rumah tidak kecewa maka lebih baik membatalkan puasa sunnah.

Demikian pula disaat kedatangan tamu, sementara kita sedang berpuasa, maka lebih baik membatalkan puasa sunnah dalam rangka menghormati tamu sebagaimana disampaikan oleh Imam al Ghazali. Kita bisa puasa sunnah di hari lain selama masih di bulan Syawal.

Suatu keputusan hukum yang tepat, karena dengan membatalkan puasa sunnah dalam rangka menghormati tamu atau rumah secara otomatis kita mendapatkan dua kesunnahan. Pertama, kesunnahan menghormati orang lain yang telah menyuguhkan makanan atau kesungguhan menghormati tamu. Kedua, masih mungkin mendapatkan kesunnahan puasa Syawal karena masih adanya kesempatan untuk berpuasa sunnah Syawal di hari yang lain.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

Imam Syafii

Benarkah Imam Syafi’i Anti Tasawuf?

Beredar di media sosial ceramah Salim Yahya Qibas yang dengan entengnya ia menyebut Imam Syafi’i …

sirah sahabat

Ketika Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit Berbeda Pendapat

Menjelang Natal dan Tahun Baru, perdebatan biasanya mengemuka sekalipun dalam ranah ijtihadi yang memang cenderung …