Akhir-akhir ini, di media sosial atau pun di ranah perbukuan lumayan banyak membahas gaya hidup minimalis. Gaya hidup minimalis sendiri dikatakan sebagai aksi dari pemikiran anti-konsumerisme dan lebih menitik beratkan pada pencarian arti hidup.
Orang-orang yang cenderung konsumtif memiliki pemikiran bahwa kebahagiaan mereka hadir melalui benda-benda maupun barang-barang yang mereka miliki. Mereka sering menilai diri mereka ataupun bahkan orang lain dari apa yang dimiliki.
Sehingga, ketika dia tidak memiliki sesuatu yang menurut mereka akan menambah value (nilai diri) mereka, maka mereka akan insecure dan tidak percaya diri. Karena mereka beranggapan bahwa mereka bernilai sesuai dengan apa yang ia miliki. Akhirnya terjadi penyakit latah (tidak mau ketinggalan) atau dalam bidang psikologi fenomena ini disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out) yang tergolong dalam anxiety disorder.
Semakin lama perilaku konsumerisme ini menyerang secara luas masyarakat kita, yang secara tidak langsung akan menghambat pada pikiran kreatif dan produkif. Maka digaungkanlah ideologi tandingan yang kita kenal dengan minimalisme. “Less is more” adalah prinsip dari gaya hidup minimalis.
Gaya hidup minimalis ini seakan mengingatkan kita kembali bahwa kebahagian kita ataupun value kita tidak bergantung pada barang yang dimiliki, dikonsumsi ataupun dikenakan. Menurut Fumio Sasaki (2018) dalam bukunya Goodbye, Things — Hidup Minimalis ala Orang Jepang, “ Minimalisme adalah gaya hidup yang berarti kita mengurangi barang yang kita miliki sampai pada tingkat paling minimum.” Tujuannya adalah merenungi kembali arti bahagia.
Dalam Islam, dari awal diajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada barang-barang. Diceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mendatangi Nabi Muhammad saw. dan berkata: “Tunjukkanlah padaku sebuah amal yang jika kulakukan maka Allah dan orang-orang akan mencintaiku!” Kemudian Nabi Muhammad saw. menjawab: “Zuhudlah pada dunia maka Allah akan mencintaimu dan Zuhudlah pada apa yang orang-orang miliki, maka mereka akan mencintaimu.”
Zuhud sebenarnya mempunyai makna meremehkan atau menganggap kecil. Jika diartikan seperti itu maka perkataan Nabi Muhammad saw. mempunyai mempunyai makna “anggaplah dunia dan yang dimiliki orang-orang itu remeh”. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, tapi menggunakan/mengkonsumsi barang seperlunya bersamaan hati yang tidak terikat dan bergantung pada benda duniawi. Hal ini berbeda dengan menggunakan barang seperlunya karena memang tidak punya jadi terpaksa mengkonsumsi itu saja, padahal hati sebenarnya menginginkan.
Zuhud mirip dengan minimalisme. Keduanya sama-sama merupakan pilihan hidup, bukan karena keterpaksaan. Hanya saja minimalisme lebih condong ke aksi memilah kualitas dan kuantitas barang yang diperlukan dan membuang hal yang tidak diperlukan bersamaan dengan perenungan tentang arti kebahagian.
Sedangkan zuhud tidak berbicara tentang apa yang dimiliki. Zuhud bukan membuang barang dari rumah secara lahiriah tapi zuhud adalah membuang barang-barang dari hati kita secara batiniah. Sehingga orang yang zuhud kadang didatangi banyak benda duniawi tetapi hatinya tidak sedikit pun tertarik pada apa yang ada di rumahnya.
Seperti Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili yang memiliki rumah mewah dan harta yang banyak. Tapi hatinya tidak terpaut akan hal tersebut dan tidak peduli akan indahnya harta miliknya. Cobalah baca kisah Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili dengan seorang laki-laki yang tidak percaya atau heran dengan rumah mewahnya Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili padahal ia dikenal sufi yang zuhud.
Bisa dikatakan gaya hidup minimalis adalah salah satu metode untuk kita mencapai tingkat zuhud. Dengan zuhud kita bisa fokus dan produktif berkarya bukan cuma jadi follower semata. Lihatlah banyak ulama-ulama terdahulu menghasilkan karya-karya yang banyak dan berkualitas dengan alat-alat yang tidak selengkap sekarang. Mungkin salah satu penyebab kita tidak produktif karena di otak kita banyak barang duniawi yang kita pikirkan. Banyak hal yang mengalihkan kita.
Wallahu A’lam.