sedih dan bahagia
sedih dan bahagia

Menghina Tuhan

Saya akan memulai tulisan ini dengan ungkapan Sudjiwo Tejo dalam suatu klip video yang sempat lewat di beranda media sosial penulis saat libur ramadan kemarin. “Menghina Tuhan tidak perlu dengan umpatan dan membakar kitab-Nya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan.”

Ungkapan ini tentunya terkhusus kepada orang yang selalu mengkhawatirkan masa depannya. Fenomena seperti ini biasanya kerap terjadi kepada remaja-remaja kelas akhir atau pasca-SLTA/Sederajat. Sebenarnya wajar saja hal tersebut terjadi. Sebab dalam fase inilah remaja biasanya akan memulai masa dewasa, melepas ketergantungan dari orang tua, dan mulai hidup mandiri.

Meski demikian, tak sepatutnya sampai terlarut-larut dalam memikirkan hal tersebut. Sebab Tuhan itu Maha Penyayang dan Maha Pengasih, maka pastilah dia tak akan menelantarkan hambanya. Buktinya, orang atheis saja masih bisa hidup dan makan, apalagi kita yang jelas telah memeluk agamanya.

Jika masih butuh bukti lagi, banyak ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa Allah telah mengatur dan menetapkan rezeki hambanya. Misal, ayat “Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…” (QS: al-An’am[6]:151) dan “Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah,” (QS: Hud[11]:6). Maka kita seharusnya percaya akan ketetapan tersebut. Karena hal itu sudah pasti menjadi yang terbaik.

Firman Allah dalam hadits qudsi, “Aku itu tergantung prasangka hambaku.” Artinya, bila kita sudah percaya kepada ketetapan Allah, berprasangka baik kepada Allah, maka Allah juga akan memberikan yang terbaik kepada kita. Bukan sebaliknya, malah khawatir Allah akan menelantarkan kita.

Saya jadi teringat ceritanya habib Husein tentang orang madura yang menjual bensin eceran di pintu keluar SPBU. Aneh sekali, kan. Jual di dekat SPBU, sudah begitu di pintu keluarnya lagi. Jika di pintu masuk mungkin saja, tapi ini di pintu keluar, loh. Lantas apa kata orang madura tersebut? “Rezeki sudah ada yang ngatur. Jadi ndak usah khawatir.” Menariknya orang tersebut ternyata mampu menafkahi keluarganya dari menjual bensin eceran tersebut, yang jika menurut ilmu ekonomi jelas tak masuk akal.

Dari cerita tersebut, kita bisa belajar yang perlu kita lakukan sebenarnya hanya terus berusaha dan percaya kepada takdir Allah. Percaya bahwa Allah sudah memberi yang terbaik untuk kita. Bukan sebaliknya, khawatir ditelantarkan. Hal inilah yang membuat Sudjiwo Tedjo menyebutnya dengan “Menghina Tuhan”. Jadi, tidak perlu pusing memikirkan masalah rezeki. Pasrahkan saja semuanya kepada Sang Pengatur dan Pemberi Rezeki.

 Terkadang ketika terlalu mengkhawatirkan sesuatu, hal itu juga membuat orang malas dan memikirkan yang tidak-tidak. Sehingga akhirnya, belum mulai mencoba saja sudah bilang tidak mampu, tidak mungkin terwujud.

Seperti yang diungkapkan Richard Carlson dalam bukunya, Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar, “Bila kita penuh kecemasan dan ketakutan, secara harfiah kita kehilangan potensi terbesar diri kita.” Maksudnya ketika kita tidak dipenuhi rasa cemas –tenang, justru kita akan lebih mudah konsentrasi untuk meraih sebuah tujuan. Kita akan berpikir secara jernih dan tidak diganggu oleh bayangan-bayangan buruk tentang hari esok.

 Kemudian, setelah kita tahu bahwa Allah tidak akan menelantarkan kita, bukan berarti kita akan malas-malasan, rebahan di kamar tanpa melakukan ikhtiyar. Kalau begitu curang namanya. Kita tetap harus berusaha mencari cara yang terbaik untuk menggapai takdir yang telah Allah tetapkan.

Bahkan, ungkap Imam Al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah orang seperti ini adalah orang dungu. Karena dia mengharapkan harta dan kekayaan tapi tak melakukan ikhtiyar sedikit pun. Sejalan dengan sabda Nabi, “…Orang dungu itu adalah dia yang mengikuti nafsunya dan mengharap sesuatu yang tak mungkin dari Allah”.

Di sisi lain, terkadang hal ini juga membuat orang-orang seakan sombong. Terlalu percaya kepada perkiraan, riset, dan strategi yang ia lakukan sampai lupa bahwa segala sesuatu tetap ada di tangan Tuhan. Lupa berdoa dan berharap pada Tuhan, apalagi sekadar tawakkal.

Maka dari sini, bisa kita petik bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus seimbang. Antara usaha kita agar bisa mencapai takdir yang telah ditentukan dengan iman atau kepercayaan kita agar bisa terus fokus dan tenang dalam menjalani hidup demi mengejar cita-cita. Lebih-lebih doa dan tawakkal kita. Sehingga semua yang kita impikan bisa terwujud dan semua yang kita lakukan dapat dinilai ibadah oleh Allah. Wabillahi at-taufiq.

Bagikan Artikel ini:

About M. Syahirul Ezzy

Pelajar SMA Annuqayah

Check Also

Konten di media sosial

Hilangnya Sanad di Medsos

Bagi sebagian dari kita istilah sanad tentu sudah sangat masyhur didengar. Karena sanad menjadi penentu …

allah

Ketika Tuhan Bertempat

Tulisan ini berawal dari perbincangan hangat antara penulis dan senior penulis tentang keberadaan Tuhan. Sebagai …