isra mikraj

Ujian Nalar atas Keimanan: Yakin Anda Mengimani Isra Mikraj Jika Hidup Masa Itu?

Jika ada yang mengatakan sangat beruntung orang yang berada pada zaman Nabi karena bisa melihat dan mengikutinya secara langsung, mungkin saja itu benar. Namun, jika ditanyakan jika anda berada pada zaman itu apakah anda akan termasuk orang yang mengimani atau justru yang menentangnya?

Butuh iman dan keyakinan yang sangat kuat jika anda merasa layak untuk hidup pada zaman Nabi. Butuh keimanan yang sekuat para sahabat, terutama Abu Bakar, dalam mengimani hal yang nampak di luar akal sehat. Apakah anda merasa yakin bisa beriman ketika menerima hal yang di luar batas nalar?

Adalah peristiwa Isra dan Mikraj yang menjadi momentum ujian keimanan. Nabi Muhammad menceritakan pengalaman luar biasa-di luas batas nalar-di mana beliau melakukan perjalanan malam dari Masjid al-Haram di Mekkah menuju Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Isra’), dan kemudian naik ke langit (Mi’raj) untuk bertemu dengan Allah SWT.

Mari kita pisahkan terlebih dahulu peristiwa Mikraj, dan fokus membahas Isra dengan menggunakan akal normal. Jika anda hidup pada zaman itu dan mendengar seorang yang sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai Nabi pembawa wahyu dari langit sedang melintas Makkah ke Yarussalem dalam satu malam, apa yang anda pikirkan?

Mencerna Isra dengan Rumusan Akal

Sanggupkah akal kita mencerna perjalanan tersebut? Mampukah kita mencerna dengan akal sehat bahwa seseorang melintas jarak sejauh itu dalam waktu semalam?

Mari kita olah dengan rumusan akal sehat yang normal. Jarak antara Makkah dan Yerusalem sekitar 1.300 hingga 1.400 kilometer. Pada masa Nabi Muhammad SAW, perjalanan ini ditempuh dengan menggunakan unta, yang merupakan kendaraan utama pada zaman itu untuk perjalanan jarak jauh. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti cuaca, rute yang dilalui, kecepatan unta, dan kondisi fisik para penumpang atau kafilah.

Secara umum, unta dapat menempuh sekitar 30 hingga 40 kilometer per hari dalam perjalanan biasa. Oleh karena itu, jika perjalanan Makkah-Yerusalem dilakukan dengan unta pada masa itu, dengan kecepatan 30-40 meter per hari membutuhkan waktu tempuh sekitar 35-43 hari perjalanan dengan melihat pada kecepatan dan kondisi perjalanan.

Belajar dari Logika Kekokohan Iman Abu Bakar

Ketika Nabi menceritakan pengalaman ini kepada para sahabat, banyak dari mereka terkejut dan ragu. Orang yang pertama kali percaya dan mengimani kebenaran cerita itu adalah Abu Bakar As-Siddiq. Abu Bakar hanya berkata : Jika Nabi Muhammad mengatakan demikian, maka itu benar.

Konon, orang kafir Quraisy mencoba menguji iman Abu Bakar dan hendak mempermalukannya karena memeluk Islam dan percaya kepada Nabi Muhammad. Mereka menceritakan perihal cerita Isra yang menurut mereka sebagai kedustaan yang ekstrem. Bagaimana mungkin Makkah Baitul Maqdis dalam waktu singkat?

Apa jawaban Abu Bakar dan ini menurut saya sangat menarik : Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra’). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.

Logika yang dibangun Abu Bakar adalah Jika dia membenarkan peristiwa kabar langit, peristiwa wahyu kepada Nabi, keterpilihan Nabi sebagai Rasul, dan peristiwa langit lainnya, maka keimanan tentang hal tak terlihat itu tidak bisa mengalahkan kepada cerita yang dianggap tidak masuk akal tentang perjalanan Isra.

Sederhananya begini, jika umat Islam sejak awal percaya kepada hal ghaib, kebesaran Tuhan yang melampaui segalanya, mukjizat Tuhan yang di luar nalar, maka keyakinan itu tidak bisa dikalahkan dengan peristiwa yang dianggap tidak masuk akal.

Iman dan Akal dalam Isra Mikraj

Keimanan adalah hal yang pasti, sementara akal sesuatu yang bisa diragukan. Karena itulah, kepastian iman tidak bisa dirusak oleh keraguan akal. Akal memiliki keterbatasan. Istilah “di luar nalar” bukan berarti tidak eksis, tetapi ketidakmampuan akal dalam mencerna peristiwa di luar batas akal. Tidak masuk akal bukan berarti kebohongan, tetapi keterbatasan akal dalam mencerna dalam konteks tertentu.

Akal adalah alat berpikir yang dimiliki manusia untuk memahami funia fisik dan hukum alam. Kebenaran akal adalah kebenaran logis dan empiris. Namun, akal memliki keterbatasan. Semua yang di luar nalar akal bukan berarti tidak ada, tetapi karena akal belum menjangkau karena area yang berbeda.

Sementara iman adalah keyakinan yang muncul dari hati tanpa keraguan. Iman tidak selalu harus dibuktikan dengan akal karena keterbasan akal yang hanya menjangkau pengetahuan empiris. Iman melampuai pengalaman empiris karena dalam keimanan orang percaya bahwa Tuhan Maha Besar yang dapat melakukan hal melampaui akal manusia sebagai ciptaanNya.

Berapa hal dalam agama tidak bisa dijangkau dengan akal. Hidup setelah mati, surga, neraka dan sebagainya. Bagaimana akal dan ilmu pengetahuan bisa melakukan uji coba empiris atas hal itu? Apakah berarti di luar batas akal berarti sesuatu tidak ada?

Lihatlah mata kita. Apakah di luar batas mata kita jutaan galaksi nan jauh di atas sana berarti tidak ada? Mata memiliki keterbatasan karena soal jangkauan. Begitu pula akal manusia. Ada batas yang tidak bisa dijangkau dalam konteks zaman tertentu.

Saat ini, memungkinkan seseorang melesat dengan kecepatan tinggi, bahkan bisa menembus angkasa. Dulu kecepatan perpindahan manusia dari daerah ke daerah lain dianggap mustahil. Dulu, kemampuan manusia untuk terbang memecah awan dan menembus ruang angkasa adalah ilusi dan kedustaan.

Jika Isra Mikraj dipahami secara akal saat itu dan saat ini mungkin tidak bisa diterima. Masih ada kata di luar batas nalar kita. Tetapi Isra Mikraj adalah peristiwa dengan penerimaan keimanan. Bahwa keimanan kita berkata jangankah semalam, bahkan Tuhan yang Maha Kuasa bisa memperjalankan Nabi Muhammad lebih singkat dari semalam.

Apa yang bisa menyimpulkan itu? Keimanan kepadaTuhan yang Maha Luar Biasa. Karena itulah, Surah Al-Isra: 1) menjadi dalil yang kuat untuk peristiwa ini dimulai dengan “Subhana” atau “Maha Suci Allah”. Konsep Subhana adalah keajaiban yang melampaui akal manusia. Umat Islam pun ketika melihat peristiwa di luar batas akal dan sangat mencengangkan akan mengatakan “ Subhanallah”.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Dr Emrus Sihombing MSi

Puji Langkah BGN Respon Kritik, Pengamat: Perkuat Implementasi di Lapangan

Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai menunjukkan sikap terbuka dalam menjalankan Program Makan Bergizi …

banjir

Teologi Lingkungan dalam Islam: Membaca Bencana Sumatera sebagai Peringatan dan Pelajaran

Gelombang bencana yang melanda Sumatera dalam beberapa waktu terakhir—banjir bandang di Padang, longsor di Sibolga, …