Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Mgr. Christophorus Tri Harsono Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI dalam acara peluncuran buku 22Deklarasi Istiqlal22 di Jakarta Rabu 1092025
Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Mgr. Christophorus Tri Harsono (Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI) dalam acara peluncuran buku Deklarasi Istiqlal, di Jakarta, Rabu, (10:9:2025)

Agama untuk Cinta Kasih dan Harmoni, Bukan Alat Perpecahan

Jakarta – Agama memiliki peran besar dalam menjinakkan pikiran yang liar dan jiwa yang rakus. Karena agama diciptakan untuk cinta kasih dan harmoni, bukan alat perpecahan.

Hal itu disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar saat menghadiri peluncuran dua buku terbaru di kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Dua buku yang diluncurkan adalah “Deklarasi Istiqlal (Refleksi Harapan & Tantangan Seluas Indonesia)” serta “Berjalan Bersama Hidup Rukun Bersaudara (Best Practices Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Se-Indonesia)”.

Dalam kesempatan itu, Menag mengajak umat beragama untuk menjalankan ajaran agama secara menyeluruh. Bukan hanya dalam dimensi ritual, melainkan juga dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan merawat kelestarian lingkungan. Menurutnya, perpaduan nilai-nilai itu dikenal dengan konsep ekoteologi.

“Kalau kita bersahabat dengan alam, otomatis kita bersahabat dengan umat agama lain. Kalau kita mendalami ajaran agama kita masing-masing, maka kita akan semakin dekat dengan agama satu dan yang lain,” ujar Nasaruddin.

Ia menegaskan pentingnya mengedepankan nilai-nilai universal dalam kehidupan beragama. “Lebih banyak kita mencari titik temu daripada mencari perbedaan dalam beragama,” tegasnya.

Menag juga menyampaikan keprihatinan atas sebagian pengajar agama yang justru menanamkan kebencian. Padahal, esensi setiap agama adalah kasih sayang. “Banyak guru agama yang bukan mengajarkan agama, tapi mengajarkan kebencian. Semua agama itu intinya kasih,” ucapnya.

Menurutnya, kehidupan beragama membutuhkan sistem teologi yang lebih feminin — yakni teologi yang mengedepankan kelembutan dan kasih sayang. Pendekatan semacam ini diyakini mampu membawa perubahan positif dan meredam sikap keras dalam beragama.

“Sudah saatnya kita memperbaiki suasana teologi kita. Agama harus bisa menjinakkan pikiran yang liar dan jiwa yang rakus. Perlu sistem teologi yang lebih feminin bekerja dalam benak masyarakat kita,” tandas Menag.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

084039400 1760199435 830 556

Pesan Habib Ja’far: Manfaatkan AI Sebagai Tools, Bukan Rujukan Utama Soal Persoalan Agama

JAKARTA — Perkembangan zaman tidak bisa dinapikan oleh masyarakat, termasuk perkembangan teknologi yang mempermudah keperluan, …

Bincang Jurnal

Perkuat Literasi dan Iman Untuk Bendung Penyebaran Radikalisme di Media Baru

Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan …