ateis

Fenomena Gelombang Ateisme di Dunia Islam: Ada Apa?

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mukti, sebagaimana dikutip oleh muhammadiyah.or.id, menyebut bahwa fenomena agnostisisme kini tumbuh pesat dan bahkan menempati peringkat ketiga dalam survei yang dilakukan oleh PEW Research Center pada tahun 2015. Menurut Mukti, tren saat ini bukan lagi pada agama secara formal, melainkan pada spiritualisme. Ia menegaskan bahwa ini bukan kesalahan agama itu sendiri, melainkan pola dakwah yang perlu diperbaiki yang sesuai dengan tuntutan generasi Z..

Ateisme: Gelombang Global yang Mencapai Dunia Islam

Dalam dua dekade terakhir, ateisme dan agnostisisme mengalami peningkatan global yang signifikan. Meski awalnya lebih dominan di dunia Barat, tren ini juga mulai merebak di kawasan negara-negara muslim, termasuk di negara-negara yang secara historis dikenal sangat religius.

Beberapa survei internasional mengungkap bahwa jumlah orang yang memilih untuk tidak beragama baik sebagai ateis maupun agnostic mengalami peningkatan drastis. Di beberapa negara muslim, ratusan ribu orang secara terbuka memilih identitas non-religius. Bersamaan dengan itu, survei sosial mencatat penurunan jumlah warga yang secara aktif mengidentifikasi diri sebagai muslim.

Tak hanya itu, muncul pula kelompok-kelompok yang masih mengklaim identitas sebagai muslim, namun menolak sebagian besar praktik keagamaannya. Di wilayah Timur Tengah misalnya terdapat komunitas yang mengembangkan teologi tersendiri yang jauh berbeda dari Islam arus utama misalnya, komunitas Druze yang mengidentifikasi diri sebagai al-Muwaḥḥidūn (kaum monoteis), namun memiliki sistem kepercayaan yang sangat tertutup dan menyimpang dari ajaran Islam konvensional. Praktik keagamaan mereka sangat rahasia, mencerminkan pemisahan antara identitas formal dan praktik spiritual yang sebenarnya.

Akar Masalah: Bukan Agama, Tapi Representasinya

Gelombang ateisme ini tidak semata-mata merupakan penolakan terhadap doktrin agama, melainkan bentuk respons terhadap kegagalan sistemik para pemimpin agama dalam menjalankan fungsi moral dan spiritual mereka. Ketika otoritas keagamaan justru terseret dalam korupsi, kompromi politik, dan gagal membela nilai-nilai keadilan, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap institusi agama itu sendiri.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika tokoh-tokoh agama terlalu dekat dengan kekuasaan seperti halnya gereja di abad p ertengahan reaksi balik dari masyarakat hampir tak terelakkan. Dalam konteks dunia Islam kontemporer, situasinya tidak jauh berbeda. Para pemimpin agama sering kali gagal menjadi suara bagi yang lemah dan tertindas. Mereka lebih fokus pada formalitas ibadah daripada memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi inti ajaran Islam.

Di berbagai negara mayoritas muslim, banyak ulama cenderung enggan membahas isu-isu seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, atau pelanggaran hak asasi manusia dan isu lingkungan. Ketika ada tokoh agama yang berani menyuarakan kritik terhadap korupsi dan ketidakadilan, mereka justru kerap dibungkam oleh otoritas resmi atau ditekan oleh kelompok politik berpengaruh atau ketika seorang tokoh agama berbicara masalah hak asasi manusia atau lingkungan justru dianggap kelaur dari konteks sebagai tokoh agama.

Islam dan Tantangan Zaman

Lebih dari sekadar kegagalan individu, ini mencerminkan adanya krisis representasi dalam institusi keagamaan. Di banyak negara, agama justru digunakan sebagai tameng oleh elit politik untuk melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya, suara-suara kritis dari dalam umat sendiri sering kali dianggap membahayakan stabilitas, bukan sebagai bagian dari otokritik yang sehat.

Di Indonesia misalnya, hampir tidak ada tokoh agama mainstream yang secara konsisten mengangkat isu redistribusi kekayaan melalui zakat atau mengkritik ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Sebagian besar lebih fokus pada narasi kepatuhan ritual dan identitas formal keislaman, tanpa menyentuh persoalan mendasar seperti ketidakadilan struktural.

Untuk merebut kembali kepercayaan publik, para tokoh agama perlu melakukan transformasi mendalam. Mereka harus beralih dari sekadar menjadi otoritas formal menjadi sosok teladan moral yang nyata. Perubahan ini harus dimulai dari pemaknaan ulang dakwah: tidak hanya soal ibadah dan akidah, tetapi juga menyentuh persoalan keadilan sosial, pemberantasan korupsi, hak asasi manusia, dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, seruan moral akan kehilangan maknanya jika tidak tercermin dalam integritas pribadi para pemimpinnya. Hanya dengan keteladanan nyata, para ulama dan tokoh agama bisa menjalankan peran sejatinya sebagai warasatul anbiya pewaris nabi yang membawa kesalihan spiritual dan kepekaan sosial sekaligus.

Lebih jauh lagi, diperlukan keterbukaan intelektual. Di tengah derasnya arus keraguan dan pertanyaan kritis generasi muda, respons yang dibutuhkan bukanlah kecaman, tetapi dialog yang jujur dan rasional. Agama harus mampu menunjukkan bahwa ia bukan sekadar doktrin yang kaku, melainkan sumber kebijaksanaan yang mampu menjawab tantangan zaman.

Fenomena meningkatnya ateisme dan agnostisisme di dunia Islam adalah cermin dari krisis kepercayaan terhadap representasi agama, bukan terhadap nilai-nilai transendental itu sendiri. Jalan keluar bukanlah dengan menutup ruang kritik, tetapi justru dengan membuka diri terhadap reformasi internal yang mendalam agar agama kembali menjadi cahaya, bukan sekadar simbol kosong.wallahu aalam

 

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Suaib Tahir, Lc, MA

Anggota Mustasyar Diniy Musim Haji Tahun 2025 Staf Ahli Bidang Pencegahan BNPT Republik Indonesia

Check Also

korupsi

Islam sangat Membenci Prilaku Korupsi

Berita nasional dan lokal kita dalam sehari tidak pernah lepas dari liputan korupsi. Rasanya korupsi …

dalil maulid nabi

Rasulullah SAW Teladan dalam Segala Aspek Kehidupan

Umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia baru saja merayakan peringatan hari mauled Nabi …