Jakarta — Perempuan Indonesia, khususnya para ibu, memegang peran kunci dalam memastikan keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah. Peran mereka bukan hanya sebagai penyaji makanan di rumah, tetapi juga sebagai penjaga pertama kualitas gizi keluarga—sebuah amanah yang memiliki nilai ibadah sekaligus tanggung jawab kebangsaan.
“Mereka adalah garda terdepan dalam ketahanan gizi keluarga. Program MBG akan efektif bila para ibu memahami nilai gizi seimbang dan menerapkan pola makan sehat bagi anak, baik di sekolah maupun di rumah,” ujar mantan Komisioner KPAI, Erlinda, M.Pd., di Jakarta, Kamis (30/10).
Menurut Erlinda, perempuan memiliki peran strategis yang sudah lama terbukti melalui berbagai gerakan sosial seperti PKK, Posyandu, dan kader gizi desa. Namun ke depan, katanya, pelibatan ini harus lebih terarah dan berbasis pada penguatan kapasitas.
“Para ibu jangan hanya ditempatkan sebagai pelaksana teknis, tetapi perlu diberi ruang untuk menjadi perancang kebijakan mikro di tingkat keluarga dan sekolah,” ujarnya.
Erlinda menegaskan bahwa Program MBG bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan bentuk nyata kehadiran negara dalam menunaikan hak dasar anak atas gizi yang layak. Dalam pandangannya, pemenuhan gizi juga sejalan dengan nilai-nilai religius tentang tanggung jawab orang tua dalam menjaga amanah kehidupan.
“Memberi makan yang bergizi kepada anak bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga bentuk ibadah. Dari piring yang sehat, lahir anak-anak yang kuat, berilmu, dan berakhlak mulia,” tutur Erlinda.
Ia menambahkan, MBG memiliki dampak besar bagi pembangunan manusia Indonesia. Anak-anak yang mendapat gizi seimbang akan tumbuh sehat secara jasmani dan rohani, lebih fokus belajar, dan siap berkompetisi menuju Indonesia Emas 2045.
“Program ini adalah investasi jangka panjang bangsa dalam menyiapkan generasi unggul,” ujarnya.
Meski demikian, Erlinda mengingatkan bahwa pelaksanaan MBG tidak bisa dilakukan secara seragam di seluruh daerah. Kondisi sosial-ekonomi, ketersediaan pangan lokal, dan budaya makan masyarakat harus menjadi pertimbangan.
“Pemerintah daerah perlu menggunakan pendekatan berbasis data dan konteks lokal. Misalnya, pemetaan status gizi anak di tiap wilayah oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya melibatkan tenaga ahli gizi di sekolah agar intervensi yang dilakukan benar-benar tepat sasaran.
“Jangan sampai program mulia ini hanya menjadi kegiatan administratif tanpa melihat kebutuhan riil anak-anak,” katanya.
Menurut Erlinda, MBG akan berhasil bila dijalankan melalui koordinasi lintas sektor—antara Kementerian Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Desa—dengan sistem pengawasan yang transparan.
“Pengawasan bisa dikoordinasikan di bawah Sekretariat Wakil Presiden agar pelaksanaannya akuntabel dan terukur. Monitoring harus rutin dilakukan,” katanya menegaskan.
Selain itu, partisipasi masyarakat dan organisasi perempuan juga sangat penting. Ia menilai PKK, Dharma Wanita, dan organisasi keagamaan perempuan bisa dilibatkan untuk mengawasi kualitas makanan, distribusi, serta edukasi gizi di sekolah.
“Jika masyarakat merasa memiliki program ini, MBG akan menjadi gerakan moral bersama, bukan sekadar proyek pemerintah,” ujar Erlinda.
Erlinda menyebut ibu sebagai “guru pertama dan utama” dalam pendidikan gizi anak. Ia menilai, pendidikan gizi seharusnya dimulai dari rumah melalui teladan sederhana seperti mengonsumsi sayur dan buah, menjaga kebersihan, serta tidak membuang makanan.
“Ibu bisa mengajarkan anak mengenali kandungan gizi secara sederhana. Literasi gizi kecil yang dilakukan terus-menerus akan menanamkan kebiasaan baik,” ujarnya.
Untuk memperkuat hal ini, pemerintah, katanya, perlu menyediakan sarana edukasi gizi melalui Posyandu, sekolah, dan platform digital agar setiap keluarga bisa menjadi perpanjangan tangan negara dalam membangun generasi sehat dan berkarakter.
“Kalau keluarga memahami gizi, efek MBG tidak berhenti di sekolah, tapi berlanjut di rumah. Kebiasaan makan sehat akan terbawa sampai dewasa,” ucapnya.
Selain aspek kesehatan, Erlinda juga menyoroti potensi MBG untuk memperkuat ekonomi rakyat. Ia mendorong agar dapur penyedia makanan MBG menggunakan bahan pangan dari petani, nelayan, dan pelaku UMKM lokal.
“Kalau bahan makanan diambil dari sekitar sekolah, maka dampaknya berlipat. Anak-anak mendapat makanan segar, petani pun sejahtera. Ini model pembangunan yang adil dan berkelanjutan,” paparnya.
Erlinda juga mengusulkan agar perempuan dilatih dalam pengolahan makanan sehat dan pengelolaan dapur higienis. Dengan demikian, perempuan tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pelaku ekonomi yang berdaya.
“Ketika ibu-ibu terlibat dari dapur hingga kebijakan, MBG akan menjadi gerakan sosial yang hidup dan berkelanjutan,” tuturnya.
Menutup pandangannya, Erlinda menegaskan bahwa MBG adalah simbol hadirnya negara yang peduli terhadap masa depan anak-anak bangsa.
“Anak yang sehat dan bergizi baik adalah modal utama menghadapi tantangan global. Keberhasilan MBG akan menjadi tonggak menuju Indonesia Emas 2045,” katanya.
Ia pun mengingatkan, setiap sendok nasi bergizi yang disajikan kepada anak adalah bentuk ibadah sosial dan investasi bangsa.
“Program ini bukan hanya tentang memberi makan anak-anak, tetapi tentang membangun masa depan Indonesia. Dari dapur yang bersih dan hati yang tulus, lahir generasi kuat yang akan meneruskan cita-cita bangsa,” pungkas Erlinda.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah