Jakarta — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa keluarga harus menjadi benteng utama dalam menjaga anak dari ancaman rekrutmen jaringan terorisme yang kini marak terjadi di ruang digital. KPAI menekankan pentingnya peran orang tua tidak hanya dalam pengawasan teknis, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan yang menyejukkan, moderat, dan penuh kasih.
Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, mengatakan langkah pertama yang harus diperkuat adalah komunikasi antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terbuka, hangat, dan penuh kepercayaan disebutnya sebagai bagian dari pengasuhan berbasis kasih—nilai universal yang dijunjung tinggi oleh seluruh agama.
“Ketika anak merasa aman dan dihargai, ia lebih mudah bercerita tentang hal-hal mencurigakan yang ditemui di internet. Ini adalah wujud nyata pengasuhan yang penuh cinta dan tanggung jawab sebagaimana diajarkan agama,” ujarnya.
Langkah kedua adalah pengawasan terhadap grup pertemanan anak di media sosial. Margaret menjelaskan bahwa orang tua perlu memastikan ruang digital anak tetap berada dalam lingkungan yang positif, edukatif, dan tidak menyimpang dari nilai moral maupun nilai agama yang diajarkan di rumah.
“Orang tua harus memastikan komunitas digital anak mendukung perkembangan karakter baik, bukan ruang yang membuka peluang penyimpangan atau paparan paham radikal,” katanya.
Langkah ketiga, yakni melakukan pengecekan berkala pada gawai anak—mulai dari percakapan, aplikasi, hingga riwayat pencarian. Menurut Margaret, langkah ini dapat dilakukan tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap privasi anak, sebagaimana prinsip dalam ajaran agama yang menekankan pentingnya amanah sekaligus perlindungan.
Selain peran keluarga, Margaret menegaskan pentingnya negara hadir untuk memastikan regulasi perlindungan anak di ruang digital berjalan efektif. Termasuk penindakan terhadap konten berbahaya, platform yang menyesatkan, dan materi yang memuat unsur radikalisme serta kekerasan.
“Upaya perlindungan harus dilakukan secara bersama-sama. Pemerintah pusat, daerah, satuan pendidikan, masyarakat, dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi memastikan setiap anak terlindungi dari ancaman yang memanfaatkan agama sebagai kedok,” ujarnya.
Dalam perkembangan kasus, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap lima pelaku perekrut anak dan pelajar untuk bergabung dengan jaringan terorisme. Operasi ini dilakukan di berbagai wilayah Indonesia sejak Desember 2024 hingga November 2025. Sepanjang 2025, sedikitnya 110 anak terjerat rekrutmen kelompok radikal melalui media sosial dan gim online.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah