WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.47 1
WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.47 1

Tafsir Ahkam Al Baqarah 183-187 (3) : Kriteria Perjalanan yang Membolehkan Tidak Puasa

Sebagaimana telah dijelaskan, mayoritas ulama sepakat bahwa safar (perjalanan) merupakan salah satu udzur puasa Ramadhan. Sehingga orang yang melakukan perjalanan mendapatkan rukhshah  tidak berpuasa.

Namun yang menjadi perdebatan di kalangan ulama adalah berapa ukuran jarak tempuh tersebut? Di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tentang hal tersebut.  

Pertama, menurut Imam al Auza’I, jarak tempuh yang dimaksud adalah seukuran perjalanan sehari. Menurutnya, perjalanan yang kurang dari sehari tergolong perjalanan pendek.

Perjalanan yang biasa dilakukan oleh orang mukim. Lumrahnya seorang musafir yang melakukan perjalanan tidak mungkin bisa kembali untuk bertemu dengan keluarganya pada hari itu juga. Dengan demikian safar yang menggugurkan puasa jarak tempuhnya minimal sehari.

Kedua, Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal berpendapat standarnya sejauh perjalanan dua hari dua malam. Secara perkiraan sama dengan enam belas parsakh. Mereka berargumen bahwa yang dimaksud safar syar’i (safar menurut hukum Islam) adalah safar yang membolehkan mengqashar (meringkas) shalat.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam Syafi’I dari Ibnu Abbas. Nabi bersabda, “Wahai penduduk makkah, kalian tidak boleh mengqashar shalat jika jarak yang kalian tempuh kurang dari empat burud, yaitu jarak antara Makkah dan Asfan. (HR. Daru Quthni).

Ahli bahasa kemudian mengkonversi 1 burud sama dengan 4 farsakh. Sedangkan 1 parsakh sama dengan 3 Mil atau 5544 m. Satu burud berarti 12 Mil. Maka 4 burud adalah 48 Mil. Dalam al Mausu’ah al Fiqhiyyah al kuwaitiyyah, 4 burud sama dengan 48 mil menurut ukuran Hasyimi, dan 40 mil menurut ukuran Bani Umayyah.

Imam al Qurthubi dalam kitab tafsirnya menceritakan bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika melakukan perjalanan sejauh empat burud, yaitu enam belas farsakh. Ini merupakan pendapat Imam Malik yang masyhur.

Riwayat dari Imam Malik menyatakan jarak minimal untuk disebut musafir sejauh perjalanan sehari semalam. Hal ini berdasar pada sabda Nabi, “Perempuan beriman dilarang melakukan perjalanan seukuran perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya”. (HR. Bukhari)

Ketiga, menurut Imam Abu Hanifah dan al-Tsauri bahwa ukuran safar harus sejarak perjalanan tiga hari tiga malam. Diperkirkan dua puluh empat parsakh. Dasarnya adalah sabda Nabi, “Orang yang mukim boleh mengusap sepatu selama sehari semalam, sedangkan musafir selama tiga hari tiga malam”. Hadis ini membuktikan safar syar’I adalah jarak perjalanan tiga hari tiga malam.

Dalil berikutnya adalah hadis Nabi, dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Rasul bersabda“Perempuan tidak boleh melakukan perjalanan lebih dari tiga hari tiga malam kecuali disertai mahramnya”.(HR. Bukhari). Hadist ini menjadi penjelas bahwa tiga hari merupakan standar yang dibuat oleh syariat.

Dari uraian di atas tentu dalil dan argumennya sama-sama kuat. Sehingga tidak sepantasnya untuk menafikan salah satunya dan menganggap lebih unggul pendapat yang lain.

Tegasnya, semua bisa diadopsi dan dipraktikkan. Namun begitu, karena ini wilayah ibadah tentu lebih baik mengedepankan sikap hati-hati. Berangkat dari sini, maka pendapat yang paling cocok untuk diamalkan adalah pendapat Imam Abu Hanifah.

Wallahu A’lam

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …