WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.47
WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.47

Tafsir Ahkam Al Baqarah 183-187 (2) : Sakit dan Perjalanan yang Membolehkan Tidak Berpuasa

Sekali lagi Islam membuktikan dirinya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Dalam konteks puasa Ramadhan ia memberi kemudahan kepada umatnya yang sedang sakit atau melakukan perjalanan (safar) boleh tidak berpuasa.

Namun begitu tetap ada kriteria tentang sakit seperti apa dan perjalanan yang bagaimana yang membolehkan ifthar (tidak puasa). Dalam teks al-Baqarah 184 itu secara umum al-Qur’an berbicara tentang kondisi sakit dan perjalanan sebagai faktor udzur puasa.

Wilayah ijtihadi berikutnya adalah ukuran seperti apa yang diperbolehkan. Apakah semua orang sakit atau semua kategori perjalanan? Dalam hal ini ada beragam pendapat ulama.

Pendapat ulama Ahlu al-Dhahir

Menurut mereka sakit yang membolehkan tidak puasa Ramadhan adalah sakit secara umum. Pokoknya sakit. Bahkan sakit yang paling ringan sekalipun dan sakit apa saja seperti sakit pada jari tangan, sakit gigi.

Demikian juga perjalanan (safar) tidak ada kriteria spesifik. Terpenting melakukan safar boleh tidak puasa. Perjalanannya dekat atau sedang. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Imam Atha’ dan Ibnu Sirin.

Ulama Ahlul Dhahir berhujjah, firman Allah “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. al Baqarah: 184).

Ayat di atas maknanya umum, tidak ada dalil yang membatasinya dengan kriteria tertentu (taqyid). Misalnya parah, menimbulkan efek kesulitan, kesukaran dan semacamnya. Oleh karena itu, ini menjadi dalil bahwa sakit dan perjalanan apa saja menjadi rukhshah bolehnya tidak puasa ramadhan.

Suatu saat beberapa orang ulama madzhab ini mendatangi Ibnu Sirin pada bulan Ramadhan. Mereka melihat ia sedang makan. Setelah ditanya kenapa tidak berpuasa? Ibnu Sirin beralasan jari-jari tangannya sakit.

Imam Daud al-Dhahiri berpendapat segala bentuk safar merupakan rukhsah puasa. Walaupun hanya melakukan perjalanan sejauh satu parsakh (3 Mil atau 5544 m). Karena dengan menempuh jarak tersebut seseorang telah disebut musafir. Dan makna tekstual ayat memang demikian.

Pendapat Jumhur Ulama

Menurut pendapat mayoritas ulama, sakit yang membolehkan seseorang tidak puasa Ramadhan jika sakit tersebut tergolong parah. Sakit yang membahayakan jiwa, atau bila berpuasa sakitnya akan bertambah parah, atau bila dipaksakan berpuasa penyakit tersebut semakin lama untuk sembuh.

Sedangkan untuk kriteria safar adalah perjalanan jauh yang pada biasanya menyebabkan penderitaan dan kesukaran bila berpuasa. Ini adalah pendapat empat Imam Madhab fiqih.

Dasar untuk memperjelas kriteria sakit dan safar tersebut adalah ayat yang menyatakan, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al Baqarah: 185). Dari ayat ini bisa dipahami bahwa sakit atau perjalanan yang tidak menyebabkan kesukaran, kesulitan dan penderitaan tidak menjadi rukhsah puasa ramadhan.

Imam al Asham menyatakan bahwa sakit yang menjadi rukhsah (keringanan) puasa Ramadhan ada batas ukurnya. Yaitu bila sakit tersebut menyebabkan kesulitan, penderitaan dan kesukaran (masyaqqat) terhadap penderitanya bila berpuasa. Safar takarannya juga seperti itu.

Imam al Qurthubi menulis, ada dua klasifikasi orang sakit dalam konteks puasa Ramadhan. Pertama, sama sekali tidak mampu untuk berpuasa. Dalam kondisi ini wajib tidak berpuasa.

Kedua, mampu dan kuat berpuasa tapi menyebabkan mudharat dan masyaqqat. Pada posisi seperti ini sunnah tidak puasa.

Pendapat mana yang lebih kuat?. Menurut Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsirnya, Rawai’u al Bayan Tafsir Ayatu al Ahkam min al Qur’an, yang benar dan sesuai dengan nalar akal sehat adalah pendapat jumhur ulama. Karena hikmah rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir untuk meniadakan kesulitan.

Oleh karena itu, perjalanan atau sakit yang tidak menyebabkan masyqqat (kesulitan) bukan rukhshah. Bahkan ada penyakit yang hanya bisa sembuh dengan berpuasa. Maka bagaimana mungkin berpendapat semua penyakit dikategorikan sebagai rukhsah?

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …