Baru saja usai kegiatan “Moderasi Beragama bagi Pimpinan Lembaga Pendidikan Keagamaan Islam”, belum sampai tiga hari, saat kami diamanahi menyampaikan curhatan kepada Para Guru, Kiyai, Masyaikh, dan Ibu Nyai mengenai “Radikalisme Pendidikan Ekstra Sekolah dan Kampus” di Kota Pontianak. Tak perlu menunggu lama, riak-riak reaksi berkonotasi negatif langsung diterima secara cash. Padahal jelas sekali, momentum 1 Juni merupakan Hari Kelahiran Pancasila dimana lambang negara dirancang oleh Seorang Dzuriyyat Rasulullah SAW; Sultan Hamid II rahimahullah asal Kalimantan Barat.
Rasa haru, bangsa, syukur, seketika didestruksi oleh narasi buruk kaum radikal melalui akun instagram “Paguyuban Mataram Islam”, yang mencederai Ideologi Pemersatu Bangsa dan Founding Father; Presiden Ir. Soekarno. Disebutkan dalam akun tersebut, mengutip pernyataan Salman Iskandar:
Bukan digali dari Budaya Bangsa, Pancasila Justru merupakan Ide Transnasional. “Bung Karno mengakui dia ketika mengusulkan lima asas tadi terpengaruh dengan salah seorang tokoh Freemason dari Tiongkok; Dr. Sun Yat Sen.”
Meskipun tidak dimungkiri, Soekarno juga terinspirasi tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chi I” atau “The Three Poeple’s” (Panitia Nasional Peringatan Lahrnja Pantja Sila, 1964: 23). Sayangnya, petualangan intelektualnya dipotong sampai sebatas itu saja. Jika ditilik lebih lanjut, pemikiran kebangsaan dalam menginisiasi asas Pancasila, Soekarno kian kokoh tatkala menyerap apa yang diutarakan Mahatma Ghandi, “My Nationalism is Humanity”.
Artinya kebangsaan yang diyakini Soekarno adalah kebangsaan berkeprimanusiaan, tidak meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Tidak dibangun atas dasar ras, suku bangsa, kebudayaan ataupun agama tertentu (Soekarno, 1946: 24). Nation termaksud pun bukan mengacu paham satu kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) atau menurut Ernest Renan, Paham persatuan watak yang timbul dikarenakan persamaan nasib (Soekarno, 1946: 24).
Sejatinya telah disadari pula bahwa persatuan nasional memerlukan “Identitas Nasional”, “Kepribadian Nasional” dan “Berkepribadian dalam Kebudayaan”(Kaelan, 2002:
271). Sebab hakikat manusia ‘monopluralis’ atau majemuk tunggal, harus selaras dan terjelma dalam suatu perbuatan lahir-batin dengan akal dan rasa. Hasrat-hasrat kehendak meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri sebagai warga masyarakat, relevansinya terhadap pribadi berdiri sendiri kepada Tuhan yang keseluruhannya itu menjadi satu kesatuan (Yudi, 2010: 369).
Adapun Jurnal “Pemikiran Soekarno dalam Perumusan Pancasila”, Paisol Burlian, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Raden Fatah Palembang, menyatakan, berdasarkan Teori Dekontruksi dapat disimpulkan bahwa Pancasila bukanlah sekedar preferensi Soekarno semata, namun terdapat sumbangan pemikiran tokoh lainnya yakni Soepomo dan Yamin. Tampak jelas jika ditinjau kesamaan pidato ketiga tokoh tersebut, serta rentang waktu pidato Soekarno paling akhir menunjukkan cakupan atau pelengkap dari pidato sebelumnya.
Tentu tidak logis jika Soekarno semata terpaku pada gagasannya Dr. Sun Yat Sen, sementara Sila Pertama berbicara soal Ketuhanan. Terlepas sisi plus dan minus, tentu tidak bisa disisihkan dalam diri manusia siapapun orangnya, tak terkecuali Bapak Pendiri Bangsa.
Hingga saat ini, dampak positifnya ialah, Negara Kesatuan Republik Indonesia mampu bertahan disaat sebagian negara-negara Arab kesulitan mencari format persatuan dan terus berkonflik panjang tanpa titik temu sebagaimana yang terjadi di Irak, Suriah, Libya, Afganistan dan lainnya.
Penulis sangat menyayangkan propaganda klan radikalis yang disinyalir terafiliasi kelompok terlarang HTI, mengkritik tidak pada tempatnya. Namun demikian, bisa ‘dimaklumi’, rusaknya akhlak dalam konteks pemikiran ini-menakar pengalaman pribadi ketika terpapar dulu-memang dipicu oleh sebuah kitab indoktrinasi, “Peraturan Hidup dalam Islam” karangan Taqiyuddin an-Nabhani. Diantara isinya mengenai Bab Akhlak:
- Dalam fikih, tidak dibuat satu bab khusus yang membahas perkara akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak menitikberatkan pembahasan dan pengambilan hukum mengenai persoalan ini.
- Akhlak sama sekali tidak memengaruhi kebangkitan atau keruntuhan suatu peradaban manusia melainkan pemikiran.
- Dakwah yang terfokus pada perbaikan akhlak dapat memalingkan masyarakat dari satu-satunya metode yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islamiyah
Belasan tahun silam, Penulis diinjeksi cara berpikir semacam ini oleh mentor senior HTI, Muhyadi Muslim. Menurutnya, ketika menjelaskan tiga poin diatas; Hizbut Tahrir menentang setiap kelompok yang terfokus pada perbaikan perilaku untuk memperbaiki negara, akan tetapi mesti revolusi terlebih dahulu, baru akhlak mengikuti.
Dengan kata lain, secara tidak langsung dirinya melawan rumusan umum perubahan dimulai individu, keluarga, masyarakat, hingga pemimpin. Ketika semuanya baik, maka negara juga akan ikut baik, apapun jenis sistem dan siapaun yang menahkodainya, termasuk Indonesia. Namun alih-alih memperbaiki, faktualnya kelompok ini malah terlihat “amar ma’ruf nyambi mungkar” (berbuat baik bersamaan berbuat mungkar); Menggugat Founding Father, menista Ideologi Negara, serta menegasi seluruh elemen bangsa lintas suku, ras, bahkan keyakinan yang dengan seluruh tumpah darah membela tanah air dari gempuran penjajah.
Alhasil, berkaca fenomena radikalisme atas nama agama yang kian hari kian menjadi, diperlukan upaya kolaboratif seluruh pihak terkait, khususnya Para Pendidik, agar menyeriusi persoalan ini. Jika tidak ‘ditertibkan’, potensi bahaya akan menimpa generasi penerus kedepan. Oleh karena itu, tindaklanjut program Moderasi Beragama sudah semestinya digerakkan massif hingga menyasar ke seluruh lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan.