Jakarta – Minggu (28//3/2021) terjadi aksi teror berupa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar. Setelah teror itu, banyak komentar muncul, termasuk Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa aksi terorisme tidak berkaitan dengan agama.
Komentar itu disanggah Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Ia menilai tidak tepat jika mengatakan aksi terorisme tidak berkaitan dengan agama. Menurut Alissa, aksi terorisme bersumber dari keyakinan beragama yang keliru dan berujung pada tindakan ekstremisme.
“Jadi saya berbeda pandangan dengan Presiden walaupun saya menduga bahwa maksudnya Presiden itu tidak melekat hanya pada satu agama, dia bisa datang dari kelompok agama yang berbeda, dan bukan agamanya, tapi umatnya, mungkin maksudnya Presiden begitu,” kata Alissa dikutip dari laman detikcom, Selasa (30/3/2021).
Alissa menilai teroris itu merasa menjalankan agama berdasarkan pemahamannya. Teroris juga menganggap korban teror yang disasar adalah musuh.
“Tapi kalau kalimatnya adalah terorisme tidak ada kaitannya dengan agama, ini problematik menurut saya, kenapa? Karena kalau kita berpikirnya seperti itu kita tidak bisa merespons persoalan ini dengan lebih konkret. Karena teroris ini dia merasa menjalankan agama tentu dengan versi dia, tafsir dia, tetapi bahwa di atas nama agama bahwa itu yang dia pilih juga adalah tempat atau korban yang dia pandang sebagai musuh, itu harus diakui, kalau tidak kita bisa addressing di isu, tidak bisa mengelola atau merespons situasi ini dengan benar,” papar Alissa.
Alissa juga mengomentari mengenai keterkaitan FPI dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Menurutnya, keduanya tidak bisa serta-merta dihubungkan.
“Saya setuju yang mengatakan bahwa hati-hati kalau mau mengaitkan FPI dengan JAD. Saya setuju bahwa tidak ada bukti cukup mengatakan bahwa FPI adalah bagian dari JAD atau sebaliknya,” jelasnya.
Alissa menilai bahwa organisasi yang sarat dengan kekerasan terhadap musuh ideologi mereka akan menjadi rentan terpengaruh jaringan terorisme. Sebab, mereka melihat orang yang berbeda dengan ajarannya sebagai musuh.
Tetapi, lanjutnya, orang-orang yang dia kemudian masuk di dalam kelompok seperti FPI ini atau teman-teman FPI juga banyak yang menggunakan ideologi kekerasan membolehkan kekerasan ketika dia berada di lingkungan itu. Mereka merasa kekerasan itu boleh dilakukan kepada musuh-musuh ideologis maka mereka menjadi sangat rentan untuk bisa direkrut oleh kelompok-kelompok ekstremisme dengan kekerasan.
“Kalau pandangannya saja melihat orang lain sebagai musuh, itu ibarat tanah, tanahnya gembur untuk ditanami, bukan organisasinya bertaut, tapi ideologi kekerasannya itu yang kemudian membuat orang bisa berada di satu organisasi ini lalu kemudian dia melepaskan diri dari sini lalu kemudian masuk ke yang lebih tinggi,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Alissa menilai bahwa anggapan teroris tidak terkait dengan agama tidak tepat. Dia menyebut ajaran agama tersebut yang akhirnya membuat mereka bergabung dengan kelompok teror.
“Menurut saya, tidak tepat untuk mengatakan bahwa terorisme itu tidak terkait agama itu kita nggak ada merespons yang ini loh tadi, yang ajaran-ajaran yang mempersiapkan orang untuk akhirnya masuk ke kelompok-kelompok teror ini,” sebut Alissa.
“Pertama kan dari purifikasi dulu meyakini bahwa ‘agama saya ini, kelompok saya ini yang paling pure’, yang paling murni. Setelah itu superioritas, lalu naik lagi kepada ekstremisme. Superioritas ketika ketemu dengan ekstremisme ini dengan penggunaan kekerasan yang sudah jadi terorisme itu tadi,” tandasnya.