Sejak April 2023, Sudan telah terjerumus dalam perang saudara brutal antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pimpinan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo.
Konflik ini menjadi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, menewaskan lebih dari 150.000 orang dan memaksa sekitar 14 juta warga mengungsi.
Selain karena isu politik dalam negeri, perang Sudan adalah tragedi yang didorong oleh fanatisme kesukuan, ketegangan etnis, dan polarisasi komunal yang telah mengakar lama.
Sudan adalah negara yang sangat heterogen dengan ratusan kelompok etnis. Garis pemisah utama secara historis adalah antara populasi Arab Muslim yang dominan di utara dan komunitas non-Arab di selatan serta di wilayah-wilayah terpinggirkan seperti Darfur. Di Darfur masyarakatnya juga adalah muslim beda dengan di Sudan Selatan yang mayoritas Kristen.
Warisan kolonial Inggris-Mesir meninggalkan perbatasan arbitrer yang gagal menciptakan identitas nasional yang kohesif. Selain itu, Inggris sejak awal sudah menciptakan benih-benih pertikaian antara mereka.
Lebih buruk lagi, ketidakadilan struktural yang sistematis telah memarginalkan wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Darfur dari distribusi kekuasaan dan kekayaan nasional, menanam benih pemberontakan selama beberapa dekade. Wilayah Sudan yang begitu luas dan terluas di Afrika membuat pemerintah yang tidak stabil tidak mampu menciptakan pemerataan kekayaan ke semua wilayah.
Pemicu langsung krisis saat ini adalah kegagalan transisi demokrasi pasca-penggulingan Presiden Omar Hassan Ahmad El-Bashir pada 2019 yang berkuasa hampir 30 tahun.
Harapan pupus ketika kedua jenderal yang awalnya bersekutu dalam kudeta 2021 akhirnya berselisih mengenai masa depan negara. Perselisihan utama berpusat pada rencana integrasi seratus ribu anggota Rapid Support Force ke dalam militer resmi dan siapa yang akan memegang kendali utama atas angkatan bersenjata.
Apa yang paling mencolok dalam konflik Sudan adalah bagaimana dimensi etnis telah menjadi sentral dalam pola kekerasan.
RSF yang dibentuk pada tahun 2003 sebagai alat pemerintah untuk menekan pemberontakan Darfur mengkombinasikan motif kekuasaan nasional dengan sentimen supremasi Arab. Dikotomi Arab versus non-Arab di Sudan mencerminkan persoalan yang lebih dalam tentang siapa yang berhak menentukan karakter nasional negara ini.
Komunitas non-Arab, termasuk Fur, Massalit, Zaghawa, dan lainnya telah lama merasa dipinggirkan dan tidak diakui dalam visi negara yang didominasi oleh elit Arab Muslim utara.
Ketika perebutan kekuasaan antar jenderal meletus, sentimen etnis ini diaktifkan sebagai alat mobilisasi massa dan justifikasi kekerasan.
Pembantaian terbaru di El-Fasher pada Oktober 2025 menunjukkan eskalasi mengerikan. Dalam tiga hari setelah RSF mengambil alih kota, lebih dari 1.500 warga sipil dilaporkan tewas, dengan citra satelit menunjukkan parit-parit berisi jenazah dan area perubahan warna merah di tanah yang menunjukkan darah.
Indonesia memiliki struktur sosial yang dalam beberapa hal sangat mirip dengan Sudan,
Indonesia adalah negara yang multikultur. Meskipun Islam menjadi identitas dominan, Indonesia, sejauh ini relatif berhasil mengelola keberagamannya berkat fondasi ideologis Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip-prinsip ini telah menjadi kerangka kerja untuk persatuan nasional, meskipun Indonesia sendiri tidak kebal dan pernah mengalami konflik komunal yang parah misalnya di Ambon, Poso, dan Sampit. Ancaman yang bisa saja terjadi di Indonesia saat ini adalah meningkatnya fanatisme kesukuan dan agama. Polarisasi ini diperburuk oleh media sosial, yang menjadi lahan subur penyebaran misinformasi dan ujaran kebencian berbasis identitas.
Belajar dari Sudan, warga Indonesia harus menyadari bahwa identitas etnis yang dimanipulasi dan ketidakadilan komunal adalah resep bencana. Untuk itu, komitmen terhadap persatuan nasional harus diperkuat secara konkret:
- Waspadai dan tolak secara aktif setiap narasi yang memecah-belah berdasarkan suku, agama, atau daerah asal.
 - Bangun hubungan lintas-etnis secara proaktif di tempat kerja, sekolah, dan komunitas untuk melawan stereotip dan prasangka.
 - Prioritaskan identitas nasional Indonesia di atas fanatisme kelompok yang sempit. Bangga pada suku adalah wajar, tetapi membenci suku lain adalah racun.
 - Lawan sekuat tenaga terhadap ujaran kebencian dan hoaks berbasis SARA di media sosial.
 
Konflik Sudan mengajarkan bahwa perang saudara berbasis etnis bukanlah takdir, melainkan pilihan yang lahir dari kegagalan merawat persatuan. Kita sudah dibekali kontrak sosial yang kuat dalam Pancasila. Selanjutnya, warga Indonesialah yang harus secara sadar memilih untuk terus merawatnya dan menolak fanatisme kesukuan demi keutuhan bangsa.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah