Pernyataan Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil, soal “Wahabi lingkungan” sempat membuat geger jagat media sosial. Istilah ini ia tujukan kepada sebagian pegiat lingkungan yang dinilai terlalu ekstrem dalam menolak segala bentuk eksplorasi alam, seakan bumi hanya untuk dilestarikan, bukan dimanfaatkan.
Gus Ulil membandingkan sikap itu dengan pendekatan Wahabi yang sangat tekstual dan rigid dalam menafsirkan agama. Teks tidak boleh disentuh agar menjaga kemurniaanya. Wahabi merujuk pada sikap yang puritan dan tekstualis. Apa kaitannya dengan lingkungan. Wahabi lingkungan berarti sangat memuja kelestarian lingkungan dengan menolak total terhadap pemanfaatan lingkungan.
Tentu saja, label wahabi lingkungan itu terlalu gimmick dan lebay. Terlepas dari kontroversi istilah tersebut—yang mungkin terlalu gimmick dan provokatif—diskursus ini membuka ruang penting bagi umat Islam, khususnya kalangan Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah), untuk merefleksikan kembali: bagaimana seharusnya kita menempatkan diri antara menjaga alam dan memanfaatkannya? Apakah boleh menambang jika tidak merusak? Atau harus menolak penambangan apa pun karena berpotensi merusak ekosistem?
Dalam hal ini, Aswaja sesungguhnya menawarkan pandangan yang berimbang dan kontekstual. Sebagai manhaj berpikir keagamaan, Aswaja berpijak pada prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan tasamuh (toleran).
Dalam aspek teologi, Aswaja menolak sikap fatalistik ala Jabariyah dan kebebasan mutlak ala Qadariyah. Aswaja percaya bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih (kasb), namun dalam batas kehendak dan aturan Allah. Karena itu, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas tindakannya—termasuk dalam memperlakukan bumi.
Pandangan teologis ini membentuk kesadaran ekologis bahwa lingkungan hidup bukan hanya persoalan ekologis, tetapi juga teologis. Manusia, sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), memikul amanah untuk memakmurkan bumi (i’mar al-ardh) sekaligus menjaga keseimbangannya (mizan). Ketika seseorang mengeksploitasi alam tanpa kendali, ia sejatinya tengah melanggar sunnatullah.
Islam sendiri memberikan panduan yang sangat seimbang: bumi ini diciptakan untuk manusia, tapi bukan untuk dirusak. Dalam QS. Al-Mulk ayat 15, Allah berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya…”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia boleh memanfaatkan sumber daya bumi, tetapi dengan syarat menjaga etika, syukur, dan keseimbangan. Demikian pula dalam QS. Al-Baqarah: 29: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu.”
Namun, akses atas bumi bukan berarti kebebasan tanpa batas. Rasulullah SAW menegaskan pentingnya menjaga lingkungan dalam berbagai sabdanya: “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, dalam situasi yang sangat genting pun, menjaga lingkungan itu harus diperjuangan. Misalnya, dinyatakan dalam sabdanya : “Jika terjadi kiamat, dan di tangan salah seorang dari kalian ada benih tanaman, maka tanamlah.” (HR. Ahmad)
Pesan ini menunjukkan bahwa menjaga dan memulihkan alam adalah bagian dari iman dan amal saleh. Aswaja menempatkan menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah menjaga bumi sebagai amanat Allah.
NU sebagai representasi institusional Aswaja telah lama menyuarakan hal ini dalam forum-forum bahtsul masail. NU menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya kesalahan teknis atau kebijakan, tetapi bentuk dosa sosial yang melanggar maqashid syari’ah, terutama dalam aspek menjaga jiwa (hifzh al-nafs) dan keturunan (hifzh al-nasl).
Oleh karena itu, label “Wahabi lingkungan” memang terdengar satir dan berlebihan. Namun, kritik Gus Ulil dapat menjadi momentum untuk memperkuat narasi Aswaja bahwa dalam mengelola lingkungan, tidak cukup hanya dengan idealisme pelestarian, tetapi harus seimbang dengan pertimbangan maslahat dan keberlanjutan.
Aswaja mengajarkan bahwa bumi adalah karunia yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara bijak. Ekologis, bukan ekstremis. Realistis, bukan eksploitatif. Inilah jalan tengah Aswaja dalam merawat bumi.