Peristiwa demonstrasi pada 28 Agustus di Jakarta meninggalkan luka mendalam. Seorang pengendara ojek online menjadi korban jiwa akibat bentrokan, dan sejak itu kemarahan publik meledak di berbagai tempat. Tidak hanya di ibu kota, tetapi juga di daerah lain seperti Jawa Barat, Cirebon, hingga Makassar, aksi massa berubah menjadi kerusuhan. Fasilitas publik dibakar, kantor pemerintahan dirusak, bahkan beberapa rumah anggota DPR dan Menteri Keuangan dijarah.
Kondisi semakin diperparah oleh derasnya arus informasi di media sosial. Konten-konten penuh kengerian bertebaran, ditambah dengan video hoaks yang viral tanpa verifikasi. Banyak orang terpancing emosi oleh narasi menyesatkan, sehingga amarah rakyat semakin sulit dikendalikan.
Pertanyaan yang harus kita ajukan bersama adalah benarkah ini wujud aspirasi yang sejati? Benarkah jalan demokrasi harus ditempuh dengan membakar, menjarah, dan melukai sesama?
Dalam sistem demokrasi, demonstrasi adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Namun, ketika aksi berubah menjadi kekerasan, esensi aspirasi itu hilang. Yang tersisa hanyalah amarah dan kerusakan. Sayangnya, di tengah situasi panas, ada kelompok-kelompok yang justru menunggangi keresahan rakyat. Mereka adalah para provokator, penyebar fitnah, dan penebar hoaks yang hanya ingin mengail di air keruh.
Al-Qur’an sudah memperingatkan tentang fenomena seperti ini. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).
Ayat ini mengajarkan prinsip verifikasi (tabayyun). Betapa bahayanya menerima informasi mentah-mentah dari orang fasik—mereka yang tidak menjaga kebenaran, suka menyebar fitnah, atau memiliki niat buruk. Inilah yang terjadi dalam kerusuhan kemarin: berita bohong tentang penjarahan, rekayasa video kekerasan, hingga narasi provokatif membuat banyak orang terbakar emosi.
Jika kita mau jujur, tidak ada yang menang dari demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan. Rakyat kecil menderita, fasilitas umum hancur, citra demokrasi tercoreng. Tetapi, di balik itu, ada pihak yang meraih keuntungan: para provokator fasik. Mereka berhasil menunggangi amarah rakyat, menyusupkan agenda politik, bahkan memecah belah persatuan bangsa.
Al-Qur’an kembali mengingatkan dalam firman-Nya: “Dan apabila mereka berpaling (dari kamu), mereka berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205).
Ayat ini menggambarkan sifat orang fasik yang hanya menebar kerusakan. Mereka tidak peduli dengan nasib rakyat, tidak peduli dengan demokrasi, yang penting kepentingan mereka tercapai.
Maka, refleksi penting bagi kita adalah demokrasi tidak boleh berjalan tanpa akhlak. Menyampaikan aspirasi harus dilakukan dengan cara-cara bermartabat, bukan dengan kekerasan. Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana menyampaikan kebenaran dengan hikmah, dengan kesabaran, dan tanpa merusak.
Di sisi lain, penguasa juga tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap suara rakyat. Jika aspirasi selalu dibungkam, ruang kosong itu akan diisi oleh kekacauan yang diciptakan provokator. Karenanya, negara perlu membuka ruang dialog, memperkuat kanal komunikasi yang sehat, dan menindak tegas provokator fasik yang sengaja membuat bangsa ini terpecah belah.
Masyarakat pun harus semakin cerdas. Era digital membuat berita bohong mudah tersebar, tetapi kita punya pedoman yang jelas dari Al-Qur’an: jangan percaya begitu saja pada berita orang fasik. Prinsip tabayyun harus menjadi budaya literasi kita, apalagi ketika emosi sedang panas.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah