Kisah bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar memunculkan istilah bomber pasangan suami istri (pasutri). Memang bukan kali pertama peristiwa teror yang dilakukan oleh pasangan suami istri, bahkan sekeluarga sekalipun atau biasa disebut terorisme sekeluarga (family terrorism).
Mungkin kita masih ingat dengan kejadian penyerangan terhadap Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Pelaku teror tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Diana alias Fitri Andriana. Kedua pasangan ini sedang menunggu putusan hakim untuk perbuatan yang mereka lakukan.
Kisah serupa terjadi dalam bom yang meledak di Makassar. Pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, yaitu L dan YSF, baru menikah sekitar 6 bulan lalu. Mereka dinikahkan tersangka teroris lain. Tentu masih ada kasus lain semisal bom keluarga di Surabaya dan Sibolga, Medan.
Nah, pertanyaannya jika suami mengajak istri untuk melakukan aksi bom bunuh diri dan teror lainnya, wajibkan istri menaati suami? Sebelum membahas pertanyaan itu, kita harus melihat pedoman perilaku hubungan suami-istri dalam Islam.
Istri Wajib Taat terhadap Suami
Dalam etika dan pedoman pernikahan Islam, suami ditempatkan sebagai pemimpin dalam keluarga. Anggota keluarga tentu harus menghormati dan menaati titah pemimpinnya. Allah berfirman dalam al-Quran : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS : An-Nisa’ 34).
Dengan berpegang pada pedoman di atas Islam merumuskan bangunan keluarga yang kuat dengan adanya pemimpin yang wajib ditaati dalam keluarga dengan cara dia menjadi pelindung dan tanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak anggota keluarganya. Ketaatan anggota keluarga, istri, terhadap pemimpinnya kemudian diartikan sebagai bagian dari ibadah yang dijanjikan surga oleh Allah.
Nabi Muhammad bersabda : Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu mengerjakan puasa di bulan Ramadhan menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki (HR Ibnu Hibban 9 471 no 4163 dan ath Thabrani 5 34 no 4598).
Ketaatan istri kepada suami dalam Islam memang menjadi penekanan utama. Konsep yang dibangun tentu saja adalah keluarga sebagai sistem sosial paling kecil yang harus ada nakhoda. Ketaatan tersebut bahkan menjadi cukup absolut karena istri adalah hak milik bagi suami, begitu pula suami adalah hak milik bagi istri.
Karena pentingnya ketaatan istri kepada suami bahkan Rasulullah menggambarkan dengan kiasan yang cukup dahsyat : Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya (HR Ahmad At Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadist ini menggambarkan betapa penting ketaatan istri terhadap pemimpinnya untuk menjamin kelangsungan keluarga yang harmonis dan bertanggungjawab.
Wajib Tolak Ajakan Teror Suami
Walaupun menekankan pentingnya ketaatan terhadap suami, tetapi Islam menolak ketaatan buta terhadap suami. Isti wajib taat kepada suami bukan dalam pengertian membabi buta. Ketaatan kepada suami karena sebagai pemimpin yang mengarahkan kepada kebaikan tatatan keluarga.
Dalam sebuah hadits disebutkan : Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat akan tetapi ketaatan adalah pada hal hal yang baik (HR Al Bukhari Muslim dan Abu Daud). Penegasan Nabi ini juga berlaku baik dalam hubungan suami-istri, dalam bermasyarakat maupun dalam bernegara. Tidak ada ketaatan terhadap pemimpin jika mengarah pada hal yang buruk dan merusak.
Dalam konteks inilah istri tidak boleh menaati suami jika dalam hal maksiat dan keburukan. Semua ulama sepakat jika membunuh diri dan tindakan terorisme adalah haram dan dosa besar. Jika suami mengajak istrinya dengan dalih ketaatan atau perjuangan sesungguhnya istri wajib menolak permintaan suami.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk terhadap hal dosa. Terorisme apalagi dengan cara bunuh diri dengan merusak dan membunuh orang lain adalah dosa besar yang dilarang oleh Islam. Istri harus menjadi cukup cerdas untuk tidak termakan doktrin atas nama kepatuhan terhadap suami.
Sebuah hadist dari Aisyarh Ra. “Aisyah meriwayatkan bahwa seorang wanita Anshar menikahkan anak perempuannya (kemudian anak itu sakit sehingga rambutnya rontok). Ibunya menghadap Nabi SAW lalu menceritakan hal itu, ia berkata: suaminya menyuruh saya menyambung rambutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda: jangan, sebab wanita menyambung rambut adalah terlaknat.”
Hadist ini memberikan pelajaran penting bagaimana Rasulullah menegaskan tidak perlu patuh terhadap permintaan suami terhadap perbuatan yang buruk. Hanya menyambung rambutnya saja, Rasulullah dengan tegas menolak untuk menaati suami.
Lalu, seandainya Rasulullah masih hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita untuk tempat bertanya : ya Rasulullah suami saya mengajak saya untuk bom bunuh diri dan melukai yang lain yang tidak berdosa dengan alasan jihad dan ingin mati syahid? Kira-kira bagaimana jawaban Rasulullah?
Karena itulah, wahai para istri, meskipun Rasulullah sudah wafat dan lama meninggalkan kita, tetapi beliau mewariskan dua pedoman penting Al-quran dan Sunnah. Jika kita tidak mampu mengetahui terhadap kandungan dua sumber itu, mekanisme Islam telah menggariskan untuk bertanya kepada para ulama sebagai pewaris para Nabi. Dan para Ulama menegaskan bahwa bom bunuh diri dan teror adalah dosa besar.
Sekali lagi buat para istri shalihah sebagai madrasah anak-anak dan kunci pendidikan masa depan bangsa, Istri shalihah bukan menaati suami dalam keburukan, tetapi justru mencegah suami untuk melakukan tindakan yang berdosa dan membunuh orang lain.