AI

Belajar Islam dengan AI, Bahayakah Teknologi AI terhadap agama ? Ini Jawabanya AI!

Teknologi kecerdasan buatan atau Aritifial Intelligence/AI akhir-akhir ini telah mencapai kemajuan yang begitu cepat. Popularitas AI di berbagai bidang sudah mulai dikenal dan digunakan. Banyak masyarakat yang sudah mulai belajar menggunakan teknologi AI dengan memanfaatkan kemampuannya dalam mengenali objek dalam gambar, menerjemahkan Bahasa secara otomatis, dengan mencari ilmu pengetahuan yang instan.

Sejarah AI

Sejarah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dimulai pada tahun 1956, ketika konferensi Dartmouth diadakan di Amerika Serikat. Konferensi tersebut dihadiri oleh sekelompok ilmuwan komputer yang berambisi untuk mengembangkan program komputer yang dapat meniru kecerdasan manusia.

Perkembangan AI memang semakin kuat dengan kemajuan dalam bidang pemrosesan bahasa alami, pengenalan wajah, robotika, dan komputasi awan. AI telah mendapatkan perhatian luas dan digunakan dalam berbagai industri seperti kesehatan, transportasi, finansial, dan lainnya. Demikian keberadaan AI telah mampu membantu dan menyentuh kehidupan sehari-hari manusia.

Termasuk dalam tulisan ini separuh lebih bahkan 80 persen adalah menyadur kalimat yang disediakan oleh platform AI chatgpt yang dikembangkan oleh openai. Teknologi AI dari berbagai flatform terus dikembangkan akan terus berlanjut sebagai bagian dari penemuan revolusi teknologi dan informasi yang luar biasa di abad ini.

Dampak AI dalam Kehidupan Beragama

Lalu, bagaimana dampak AI dalam kehidupan beragama, terutama Islam? Akankah AI menggerus pengetahuan keagamaan yang tradisional atau dapat memberikan informasi pengetahuan keagamaan yang salah dalam beragama?

Sejatinya, AI tidak lebih sebagai perkembangan teknologi bahkan bisa dikatakan revolusi teknologi abad ini yang sangat luar biasa. AI secara positif memberikan kecepatan dan  kemudahan bagi manusia termasuk umat beragama dalam mencari informasi. Dalam hal ini, keberadaan AI dalam konteks beragama masih berada di posisi yang sama dengan teknologi mesin pencari (browser) seperti google, yahoo, bing, yandex, duckduckgo, baidu dan lainnya.

Mesin pencari sejatinya aplikasi yang sudah menggunakan AI untuk memproses dan menyajikan hasil pencarian bagi pengguna. AI merupakan bidang yang lebih luas dalam pengembangan dan penerapan sistem computer yang dapat meniru kecerdasan manusia. Sementara browser merupakan salah satu wujud kongkrit dari teknologi AI yang sudah digunakan berdasarkan kata kunci dengan mengumpulkan data yang tersebar di web dan media sosial.

Dalam konteks beragama, mesin pencari sudah memberikan kemudahan bagi pengguna dalam mencari informasi. Begitu pula AI dengan memungkinkan komputer menyelesaikan tugas-tugas lebih cerdas seperti pengenalan pola, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah tentu satu sisi akan memberikan manfaat.

Jawaban AI tentang Bahaya terhadap Agama

Tetapi, apakah ada dampak bahaya AI dalam kehidupan beragama? Inilah jawaban AI dari platform chatgpt :

Sebagai AI, saya ingin menegaskan bahwa teknologi AI, termasuk saya sendiri, tidak memiliki pandangan, keyakinan, atau niat untuk mempengaruhi atau membahayakan agama manapun, termasuk Islam. AI adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berbagai tujuan, dan dampaknya tergantung pada bagaimana teknologi tersebut digunakan oleh pengguna.

Dalam konteks Islam, seperti dalam penggunaan teknologi lainnya, ada baiknya untuk menjaga kewaspadaan terhadap potensi penyalahgunaan teknologi AI.

Penting untuk diingat bahwa teknologi AI, seperti semua teknologi, dapat digunakan dengan cara yang baik atau buruk. Tanggung jawab ada pada pengguna manusia untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan etika dan untuk memperkuat nilai-nilai positif agama, termasuk dalam konteks Islam. Masyarakat Muslim perlu terus berdialog, beradaptasi, dan memperkuat pemahaman mereka tentang teknologi AI agar dapat menghadapinya dengan bijaksana dan sejalan dengan prinsip-prinsip agama.

Pada prinsipnya AI sebagaimana teknologi yang lawan berada dalam posisi sebagai alat dan media. Dampak baik dan buruk tergantung pada tujuan dari penggunanya. Hal yang penting dicatat sebagaimana disarankan dalam jawaban AI di atas adalah bahwa teknologi tidak bisa menggantikan interaksi manusia apalagi dalam urusan agama.

Perjumpaan tradisional dan konvensional dalam menimba ilmu agama harus dan mutlak diperlukan. Bimbingan spiritual dan Pendidikan keagamaan serta pengalaman komunitas dan kolektifitas tidak boleh terganti dengan adanya teknologi. Jika hal itu terjadi akan menyeret dalam alienasi beragama yang berpotensi merusak pemahaman keagamaan.

Dalam konteks belajar agama di internet, misalnya, sudah banyak contoh anak-anak muda yang gairah agamanya tinggi tetapi hanya mengandalkan informasi keagamaan dari internet. Fatal, jika pemahaman yang keliru diterima dengan mentah dan instans tanpa ada dialogi dan verifikasi langsung kepada orang memiliki otoritas.

Saran AI adalah menjaga keseimbangan anara penggunaan teknologi dan interaksi manusia sangatlah tepat. Teknologi tetaplah teknologi mati yang sekalipun ingin diarahkan secerdas kecerdasan manusia. Ia tidak akan memiliki nurani, kepekaan kejeniusan spontanitas dalam memecahkan masalah faktual.

Tidak Cukup Bertanya kepada Teknologi/Orang Cerdas Berilmu

Dalam Islam, jika menghadapi kegalauan dalam menghadapi masalah kehidupan dan keagamaa, disarankan untuk bertanya kepada ahlu dzkir : Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS Al-Anbiya’ ayat 7).

Meskipun kata ahlu dzikir ini jika diterjemahkan dalam maksud dan arti sebagai orang berilmu, tetapi bukan dalam pengertian harfiyah orang yang mempunyai ilmu saja atau sarana lain yang bisa memberikan jawaban keilmuan seperti buku atau dalam konteks saat ini teknologi AI. Kecerdasan AI tentu sudah bisa dikatakan sebagai media yang berilmu.

Islam menggunakan istilah ahlu dzikir untuk membedakan antara orang berilmu saja dengan orang yang yang berilmu dengan sikap dan perasaan takut kepada Allah. Orang yang mempunyai nurani keimanan dan ketuhanan dalam dirinya. Bukan sekedar orang yang cerdas dan berilmu dalam agama.

Secara sederhana, tidak semua orang alim (berilmu) disebut ahlu dzikir, tetapi semua ahlu dzikir adalah pasti orang alim. Kriteria ahlu dzikir itulah yang disebut para wali dan ulama yang disabdakan Nabi sebagai pewaris para Nabi.

Dalam konteks belajar agama dengan perkembangan teknologi AI, tidak cukup anak-anak muda sekarang mengandalkan teknologi yang alim, tetapi membutuhkan pembimbing dari ahlu dzikir. Bimbingan yang bersanad menjadi penting untuk menjamin kualitas ilmu dan keimanan, bukan sekedar mengandalkan kecerdasan buatan.

Memanfaatkan teknologi AI tentu sah-sah saja dalam beragama sebagai tambahan pengetahuan dan informasi. Namun, penting juga menyeimbangkan antara pemanfaatan AI dalam beragama dengan interaksi langsung dengan pemuka agama dan komunitas keagamaan. Prinsipnya, ilmu dapat diraih dari manapun, tetapi keteguhan iman dan keyakinan tidak cukup diraih dengan mengandalkan ilmu semata.

Prinsipnya teknologi adalah membantu manusia, bukan menggantikan manusia. Jangan pernah merasa tergantung dengan teknologi dan mengabaikan kemanusiaan. Tidak ada yang dapat menggantikan hati manusia, meskipun otak dan kecerdasan manusia sedang ditiru. Manusia adalah makhluk beragama yang menyandarkan ujung perjalanan dan akhir cerita kepada Tuhan, bukan kepada kecerdasan buatan.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Eks Napiter di Batanghari lepas baiat dan ikrar setia NKRI

Lepas Baiat dan Ikrar Setia NKRI, Eks Napiter: Semoga Kami Istiqamah Jalankan Ajaran Islam yang Benar

Batanghari – Program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus …

Haedar Nashir

Ormas Keagamaan Harus Naik Kelas, Tidak Boleh Jadi Benalu Tapi Harus Mandiri

Yogyakarta – Organisasi sosial kemasyarakatan berbasis agama harus memiliki kesadaran untuk berubah naik kelas, tidak boleh …