Kasus perundungan yang berujung kematian—termasuk yang baru-baru ini terjadi di Tangerang—sekali lagi mengguncang kesadaran kita tentang bahaya praktek perundungan di sekolah. Kejadian semacam ini tentu bukan hanya sekali dan banyak kejadian tak terkabarkan di berbagai sekolah. Apa yang terjadi?
Hal ini menjadi pengingat pahit bahwa dunia pendidikan kita sedang bergerak menjauh dari nilai-nilai adab yang seharusnya menjadi fondasinya. Jika sekolah adalah ruang untuk menumbuhkan karakter mulia, maka hadirnya kekerasan hingga merenggut nyawa menunjukkan bahwa ada yang retak dalam sistem pendidikan kita.
Islam sejak awal membangun konsep pendidikan yang berakar pada akhlak. Rasulullah pernah menegaskan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Pernyataan ini menempatkan akhlak bukan sebagai pelengkap, melainkan inti misi kenabian. Ketika akhlak hilang dari ruang pendidikan, niscaya kekosongan itu akan diisi oleh kekerasan, intimidasi, dan perundungan.
Al-Qur’an telah mengingatkan keras melalui QS. al-Hujurāt:11 agar manusia tidak saling menghina, mencela, dan merendahkan. Ayat ini bukan sekadar etika sosial; ia adalah perintah tegas untuk menjaga kehormatan dan martabat sesama. Bullying adalah bentuk ekstrem dari pelanggaran ayat tersebut—merendahkan martabat orang lain dengan sengaja, melukai fisiknya, sekaligus menghancurkan jiwanya.
Dalam maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu tujuan-tujuan utama syariat, tindakan perundungan jelas bertentangan dengan beberapa prinsip fundamental: penjagaan jiwa (hifz al-nafs), penjagaan akal (hifz al-‘aql), dan penjagaan kehormatan (hifz al-‘ird). Ketika seorang siswa disakiti hingga kehilangan nyawa, itu bukan hanya pelanggaran etik, tetapi kejahatan terhadap tujuan-tujuan syariat.
Pesan dari ajaran tersebut, jika dihadirkan dalam konteks pendidikan hari ini, mestinya menjadi fondasi pembentukan kultur sekolah: bahwa setiap siswa adalah amanah, bahwa keselamatan fisik dan mental mereka bukan untuk ditawar, dan bahwa sekolah harus menjadi tempat paling aman bagi anak-anak.
Sayangnya, pada banyak kasus, bullying terus terjadi karena dua hal: budaya permisif dan kurangnya literasi emosional di lingkungan sekolah. Ada guru yang menganggap perundungan sebagai “proses pendewasaan”, ada pula sekolah yang cenderung menutupi kasus demi menjaga citra institusi. Padahal dalam Islam berlaku kaidah lā ḍarar wa lā ḍirār—tidak boleh memberi mudarat dan tidak boleh saling merugikan. Sekecil apa pun, kekerasan tidak boleh ditoleransi.
Islam menawarkan jalan pencegahan. Pendidikan Islam mengajarkan tiga pilar karakter: kasih sayang (rahmah), amanah, dan keadilan. Guru yang penuh kasih sayang tidak akan membiarkan intimidasi tumbuh. Sekolah yang memahami amanah tidak akan mengabaikan tanggung jawab menjaga keselamatan murid. Lingkungan pendidikan yang menjunjung keadilan tidak akan membiarkan perilaku kekerasan berlindung di balik status senior atau prestasi.
Pada titik ini, kasus bullying di institusi pendidikan harus menjadi momentum untuk membangun kembali fondasi pendidikan kita. Penanganannya tidak cukup dengan menghukum pelaku; akar persoalan harus diselesaikan.
Keluarga harus dilibatkan karena pendidikan adab dimulai dari rumah. Guru dan sekolah perlu mendapatkan pelatihan mengenai literasi emosional dan pencegahan kekerasan. Mekanisme pengawasan harus diperketat, dan yang tak kalah penting, sekolah harus menyediakan safe space bagi siswa—ruang di mana mereka dapat melapor tanpa takut.
Jika pendidikan Islam ingin kembali kepada hakikatnya, maka sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar bukan hanya literasi dan numerasi, tetapi juga empati, keberanian moral, dan nilai persaudaraan. Tanpa itu, pendidikan hanya akan menghasilkan generasi yang cerdas secara akademik tetapi rapuh secara moral—dan pada akhirnya, potensi tragedi serupa akan terus berulang.
Mencegah satu kasus bullying berarti menyelamatkan masa depan satu jiwa. Dan dalam Islam, menyelamatkan satu jiwa sama nilainya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah