cara fasik politik
cara fasik politik

Cara “Fasik” dalam Berpolitik

Politik bukan tentang segala cara untuk meraih kepentingan dengan mengorbankan apapun. Politik sejatinya tentang keputusan dan kebijaksanaan dalam hal berkaitan dengan urusan publik untuk kepentingan bersama. Sehingga berpolitik juga memiliki etika dan moral yang harus taati.

Meraih kekuasaan dalam kontestasi politik juga harus dilakukan dengan benar dan santun. Islam adalah agama yang sangat menjunjung etika dan akhlak mulia dalam segala aspek, termasuk dalam hal politik. Membangun kekuatan politik dan meraih kekuasaan politik dengan cara kotor dan tidak beradab bukan cerminan sikap dan tindakan politik yang Islami.

Menjadi politisi pun harus benar-benar mencerminkan cara Islam dalam bergaul, berinteraksi dan meraih kekuasaan. Salah satunya adalah menjauhi pola dan strategi kefasikan dalam berpolitik. Sifat dan cara fasik dalam kehidupan bermasyarakat sangat membahayakan, apalagi jika dipraktekkan dalam kehidupan berpolitik.  

Apa saja strategi dan cara politik dengan kefasikan. Istilah fasik berasal dari bahasa Arab yang berarti keluar. Secara syar’i fasik berarti keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya. Lalu, bagaimana ciri-ciri fasik dalam berpolitik? Ada tiga ciri yang dapat dikenali dari pola strategi para fasik.

Pertama, selalu menggunakan dusta dan kebohongan sebagai senjata politik. Politisi yang menggunakan cara fasik selalu mementingkan hasil untuk mencari keuntungan walaupun dengan cara-cara kotor seperti berdusta dan menyebar hoaks.

Dari Abdullah Nabi bersabda : Jauilah dusta, karena dusta akan menghantarkan kepada kefasikan, dan kefasikan akan nenghantarkan ke neraka. Seorang laki-laki senantiasa berdusta dan mencoba-coba berdusta hingga ia dicatat disisi Allah sebagai pendusta (HR Bukhari, muslim dan imam lainnya dari beberapa sanad yang berbeda-beda).

Berpolitik menggunakan narasi hoaks dan adu domba adalah cara fasik yang telah diperingatkan dalam Qur’an: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6).

Kedua,  selalu menggunakan taktik pecah belah, adu domba dan provokasi. Fitnah, provokasi dan adu domba yang dapat memberikan musibah secara besar kepada masyarakat. Politisi semacam ini tidak lagi mengindahkan dampak dari berita dan propaganda yang disebarkan tetapi lebih melihat pada keuntungan politik yang akan diraih dengan cara kotor tersebut.

Dalam ayat lain Allah juga memperingatkan dengan tegas hukuman bagi cara politik semacam ini yang memviralkan keburukan dan kebohongan: “Sesungguhnya orang-orang yang senang menyebarkan keburukan di kalangan orang-orang yang beriman akan mendapatkan siksa yang pedih di dunia dan akhirat. Allah mengetahui dan kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19).

Dalam ayat lain Allah memberingatkan : “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,yang banyak mencela, yang kian ke mari menebar namimah” (QS. Al Qalam: 10-11). Ibnu Katsir menafisrkan namimah juga dalam bentuk tahrisy (provokasi) yang bertujuan mencerai-beraikan hati dan kesatuan masyarakat.

Ketiga, selalu menggunakan kata-kata kotor untuk memaki lawan politiknya. Umat Islam yang berani mencaci maki umat Islam lainnya sesungguhnya telah keluar dari ketaatan terhadap ajaran Islam.  

Dalam sebuah hadist dari dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah saw bersabda, “Mencaci maki orang muslim adalah perbuatan fasik dan memeranginya adalah perbuatan kufur. ( HR Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i). Peringatan ini sangat keras dengan memberikan label fasik terhadap mereka yang suka mencela sesama muslim. Saat ini bisa kita lihat banyak sekali para politisi dan pendukung karena hanya karena perbedaan pilihan politik menjadi mudah untuk mencaci maki bahkan merendahkan orang lain.

Dalam berpolitik, cara politisi fasik selalu memposisikan persaingan politik sebagai arena peperangan dan menjadi lawan politik sebagai musuh yang harus dihabisi dengan cara apapun. Cara-cara seperti itu bukan gaya politik dengan adab ketimuran bangsa dan jauh dari nilai dan prinsip Islam. Politik sekali lagi bukan tentang meraih kekuasaan tetapi bagaimana meraih dan mengelola kekuasaan dengan bijak, cerdas dan bermanfaat untuk kepentingan bersama.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …