Salat Idul Fitri di Al Zaytun ada perempuan dan non muslim sejajar di shaf depan
Salat Idul Fitri di Al-Zaytun, ada perempuan dan non-muslim sejajar di shaf depan

Cenderung Buat Gaduh, MUI: Al-Zaytun Harus Klarifikasi Salat Idul Fitri Mereka

Jakarta – Salat Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriyah di Ponpes Al-Zaytun, Sabtu (22/4/2023), menimbulkan kontroversi. Bagaimana tidak, dalam Salat Idul Fitri terdapat jamaah perempuan dan satu orang non-muslim di barisan depan tepat di belakang imam. Salat Idul Fitri itu pun menjadi viral. Apalagi Al-Zaytun masih dikaitkan dengan keberadaan kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Abdul Muiz Ali menanggapi praktik salat Idul Fitri Al-Zaytun tersebut. Menurutnya, pondok pesantren di Indonesia selama ini menjadi pusat percontohan dalam keistiqamahan merawat akidah dan tradisi ibadah ahlussunah wal jamaah seharusnya jadi contoh baik bagi .

“Sangat disayangkan adanya tradisi amaliyah yang dikembangkan di pesantren yang justru menjadi sebab kegaduhan di masyarakat,” ujar Kiai Muiz Ali dikutip dari Republika.co.id, Jumat (28/4/2023).

Menurutnya, praktik salat Idul Fitri yang mensejajarkan shaf atau barisan laki-laki dan perempuan tidak seharusnya terjadi di lembaga pendidikan pesantren, dalam hal ini Pesantren Al-Zaytun. Dia menilai, eksklusifitas model keagamaan di Pesantren Al-Zaytun cenderung membuat gaduh di masyarakat.

Ia mengungkapkan, pimpinan Pesantren Al-Zaytun seharusnya menjelaskan kepada masyarakat tentang ketentuan fiqih pelaksanan Idul Fitri.

“Pimpinan pesantren Al-Zaitun akan lebih arif jika menjelaskan kepada masyarakat perihal amaliyah yang selama ini dilakukan, termasuk yang lagi viral tentang praktik atau tata cara salat Idul Fitri yang viral sekarang,” katanya.

Secara ketentuan fikih, Kiai Muiz menjelaskan, hampir seluruh ulama menyampaikan bahwa mensejajarkan shaf antara laki-laki dan perempuan dalam salat berjamaah adalah makruh. Perbuatan makruh itu termasuk perbuatan tercela, terlebih dilakukan oleh orang atau lembaga yang seharusnya menjadi percontohan masyarakat.

Hukum makruh mensejajarkan shaf laki-laki dan perempuan dalam salat berjamaah dapat merujuk pada hadis Nabi dan beberapa pendapat ulama. Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ اَلنِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا -رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya shaf mereka adalah yang paling terakhir. Sedang sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (HR Muslim)

Hikmah mengatur cara salat berjamaah antara lain menghindari percampuran laki-laki dan perempuan.

وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك

“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)

Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulum ad-Din, menyampaikan:

ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات“

“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)

Sementara itu, Al Mawardi dalam kitabnya berjudul al-Hawi al-Kabir mengatakan:

“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu. Ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)

Rincian hukum tersebut juga dijelaskan secara tegas dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah. Mazhab Hanafiyah menegaskan, sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak atau membatalkan salatnya laki-laki.

Imam Az-Zayla’i al-Hanafi juga berpendapat seperti berikut ini:

“Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni salat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan salat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat, maka salat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.”

Dasarnya ialah hadits “Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.” Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab), bukan para wanita. Dengan demikian, maka lelaki tersebut dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi salat para perempuan.

Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan salat, hanya saja hal tersebut makruh.

“Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal salat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal salat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain salat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya salat ketika tidak melakukannya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21).

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

060567700 1740995185 830 556

Santri Dari Mutholaah Kitab Kuning Ke Digital

JAKARTA — Santri bukan sekedar pembelajar di pondok pesantren namun lebih jauh santri menjadi penjaga …

082479700 1601026076 830 556

Kiprah Pendiri Pesantren Lirboyo di Medan Perang Kemerdekaan

Jakarta – KH. Abdul Karim atau yang biasa disapa Mbah Manab muassis Pondok Pesantren Lirboyo …