maulid di madura

Cerita Maulid di Madura, Wahabi dan Tradisi Kegembiraan Sebulan

Mungkin tidak hanya di Madura, di tempat lain dengan basis masyarakat ahlusunnah wal jamaah dalam naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) akan memiliki cerita dan pengalaman serupa. Ya, cerita tentang Maulid Nabi yang disambut dengan begitu antusias dan meriah.

Kenapa harus Madura? Di antara dua perayaan besar Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, orang Madura masih memiliki tradisi perayaan lainnya dari Muharram, Shafar dan tentu saja yang paling besar adalah Maulid Nabi. Di sebagian daerah seperti kabupaten Sampang, Maulid justru menjadi pilihan orang mudik. Yang bekerja di luar Madura akan pulang kampung merayakan Maulid Nabi. Selama sebulan perayaan dilaksanakan dari pagi hingga malam. Dari rumah ke rumah hingga di masjid dan mushalla.

Maulid bagian penting dari sejarah Islam yang mendapatkan perhatian lebih orang Madura. Tahun baru Islam dirayakan, Isra Mikraj diperingai, tetapi tidak semeriah Maulid. Pembacaan shalawat, dzikir dan pembacaan sirah Nabawi melalui Barzanji menjadi panorama selama satu bulan penuh. Maulid adalah kegembiraan masyarakat Madura memperingati kelahiran Sang Nabi.

Dulu, waktu kecil, saya masih ingat omongan ibu (allahumma yarhamha) yang saya jelas tidak yakin ada riwayat shahihnya. Maulid adalah bulan lahir Nabi dengan seluruh alam bergembira. Tumbuhan dan tanaman merayakan. Bulan Maulid penuh kesuburan dan banyak buah-buahan yang tumbuh. Makanya, di perayaan inilah banyak buah-buahan disajikan.

Sekali lagi saya agak meragukan matan dan sanad yang ibu sampaikan, tetapi yang saya yakini kecintaan ibu, sebagai orang Madura, terhadap Nabinya adalah shahih dan tidak bisa didhaifkan. Bagi saya, ibu hanya ingin menggambarkan betapa sungguh beliau, keluarga, dan masyarakat Madura begitu sangat (sangat) dan sangat mencintai Nabinya.

Tidak melebih-lebihkan. Ini tentu riwayatnya shahih karena saya sendiri yang mengalami. Anak-anak di Madura begitu antusias merayakan maulid Nabi. Pada tanggal 12 Rabiul Awal di pagi hari mereka pergi ke masjid merayakannya dengan pembacaan shalawat. Dan harus saya katakan, anak-anak-tentu juga saya-dibelikan baju baru layaknya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk mengikuti pembacaan shalawat di masjid.

Bulan maulid adalah kegembiraan. Kemeriahan sudah pasti. Maulid di Madura adalah parade shalawat selama satu bulan penuh. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Tiada capeknya dari pagi hingga malam. Dari mendatangi satu undangan ke undangan yang lain. Dulu saya sangat antusias mendatangi undangan-walaupun tentu saja tidak diundang-ketika shahibul hajat adalah orang yang berkecukupan, katakanlah kaya pada masanya.

Tidak hanya santapan nasi, buah-buahan, dan berkat yang dibawa pulang, tetapi ada bonus amplop buat anak kecil. Uang 5000 ketika itu adalah bonus besar dari kegembiraan Maulid. Besar juga jika per hari selama sebulan bisa mengumpulkan sejumlah tersebut.

Melihat kecintaan, kegembiraan dan kemeriahan ini, tentu saja masyarakat Madura akan marah besar jika ada pendatang naik di atas mimbar dengan menantang perayaan besar masyarakat Madura. Berceramah seolah paling dekat dengan Nabi dan paling getol ingin memurnikan ajaran Islam dengan mengharam-haramkan, membid’ahkan dan menyesatkan perayaan Maulid. Sungguh tidak hanya kebodohan, tetapi ketidakbijaksanaan yang sangat akut yang umumnya orang Madura memanggil mereka, ustadz Wahabi (dengan logat Madura berarti Wehebi).

Di awal Tahun ini, peristiwa itu terjadi dan menghebohkan. Seorang Ustaz bernama Yasir Hasan dengan menyitir ulama besar yang juga dicintai orang Madura menyalahkan perayaan Maulid. Kalau tidak salah begini matannya menurut riwayat dari banyak sumber media terpercaya alias tsiqqah, insyallah shahih :

Selama ini ada yang ditutup-tutupi bahwa sebenarnya KH. Muhammad Hasyim As’ary pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng mengingkari dengan keras Maulid Nabi Muhammad Saw dalam Kitabnya berjudul Al Tanbihat Al Wajibat li Man Yashna’ al Maulid bi al Munkarat”.

Begitulah petikan isi ceramahnya di Masjid Usman bin Affan di Dusun Nyalabu Permai, Desa Nyalabu Laok, Kabupaten Madura (25/1/2023) yang membuat geger masyarakat Madura. Ia tidak hanya menyakiti rasa kecintaan masyarakat Madura terhadap Nabi melalui perayaan Maulid, tetapi telah menyakiti rasa hormat mereka terhadap Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari. Ah Ini, ini parah nih! tenang, tenang. Masyarakat Madura tidak bisa tenang.

Kontan masyarakat bergerak. Serentak gerakan ini terjadi di berbagai wilayah khususnya di Pamekasan. Gerakan masyarakat Madura dan NU pada umumnya di dunia maya lebih dahsyat. Sampai akhirnya, sang Ustaz meminta maaf dan mengaku khilaf. Dalam pengakuannya ia tidak sengaja memotong isi kutipan dari KH Hasyim Asy’ari yang sebenarnya isinya memberikan panduan agar Maulid dilakukan sesuai tuntunan syariat.

Oke, kita tinggalkan ustaz yang mengaku khilafah-eh..maksudnya khilaf. Kita kembali pada perayaan Maulid di Madura. Di pulau garam ini shalawat begitu membahana selama satu bulan penuh. Maulid menjadi bagian penting dari tradisi masyarakat Madura yang begitu mencintai Nabinya. Ia bahkan telah menjadi penanda identitas dan simbol kultural masyarakat Madura.

Seribu dalil pun menghantam masyarakat Madura, Maulid tetap menjadi denyut nadi untuk mencintai Nabi. Hadirkan saja ustadz paling populer di Madura, tetapi ia menyakiti rasa cinta masyarakat Madura terhadap Nabi dengan membid’ahkan dan mengharamkan, persoalan akan menjadi beda. Mungkin sang ustaz akan semakin populer dan disebut namanya dalam aksi demontrasi.

Di Madura, Maulid rasanya tidak mudah dihilangkan karena akan terus menerus diwariskan. Dan memang pewarisan terbaik tentang kecintaan terhadap Nabi yang paling efektif melalui aktifitas kebudayaan seperti perayaan Maulid ini. Artinya, Maulid bukan ibadah baru, tetapi hanya tradisi yang memuat kecintaan terhadap Nabi.

Coba tanyakan kepada anak-anak Madura kapan Nabi dilahirkan? Mereka sepakat akan meneriakkan bulan Maulid, tanggal 12 rabiul Awal Tahun Gajah. Nabi adalah idola anak-anak Madura yang setiap tahun dirayakan dengan kegembiraan. Belum tentu, anak-anak sekarang hafal tanggal lahir Nabi walaupun sudah berkali-kali diajarkan di sekolah melalui format menghafal dan ujian.

Maka, akhirnya saya memahami tradisi itu bukan hanya tentang pengawetan dan pewarisan nilai, tetapi alat edukasi paling efektif bagi anak-anak. Jika mengajarkan anak-anak ke masjid tentang sejarah Nabi, mungkin segera hilang dihantam tontonan youtube, tiktok dan game online.

Bayangkan anak-anak diikutkan menjadi bagian dari kegembiraan setiap tahun dalam merayakan Nabinya. Sarana ini akan lebih efektif dalam menanamkan kecintaan terhadap Nabi. Anak-anak akan tetap memiliki idola terbaik yang tak tergoyahkan di tengah serbuan para hero Marvel dan DC atau mungkin One Piece.

Muhammad adalah Sayyidina. Sebagai anak Madura yang lahir dari tradisi tersebut, Saya bersyukur telah ditanamkan kecintaan yang kokoh terhadap Nabi melalui perayaan Maulid. Tidak ada idola dalam hidup kecuali Nabi dan para pewarisnya. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Pancasila Jaya

Intoleransi Akar Masalah Radikalisme dan Terorisme, BPIP: Bumikan Pancasila

Makassar – Pancasila adalah ideologi bangsa yang telah terbukti mampu mempersatukan Indonesia dari berbagai keberagaman …

persatuan

Khutbah Jumat : Bulan Syawal Momentum Memperkokoh Ukhuwah dan Persatuan Bangsa

Khutbah I   اَلْحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى …