Yogyakarta – Dalam ajaran Katolik, cinta kasih bukan sekadar anjuran moral, melainkan inti dari kehidupan beriman. Pandangan ini ditegaskan oleh Romo Martinus Joko Lelono, Pr., dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, saat berbicara mengenai makna cinta dalam perspektif Gereja Katolik, Selasa (5/8/2025).
Menurut Romo Martinus, cinta kasih merupakan bahasa hati yang melampaui batas-batas identitas sempit seperti agama, ras, maupun kebangsaan. “Tuhan menciptakan manusia menurut citra-Nya, dan menghendaki seluruh umat manusia—tanpa kecuali—untuk hidup bersama dalam semangat kasih,” ujarnya.
Meskipun Gereja Katolik tidak secara eksplisit mengajarkan nasionalisme, semangat kebangsaan sangat hidup dalam tubuh umat. Romo Martinus mengutip pesan terkenal Mgr. Albertus Soegijapranata: “100% Katolik, 100% Indonesia”, sebagai bukti keterlibatan aktif umat Katolik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Menjadi Katolik tidak membuat seseorang kurang menjadi Indonesia. Justru cinta kepada sesama dan negara adalah wujud nyata dari iman itu sendiri,” katanya.
Lebih lanjut, Romo Martinus menekankan pentingnya memperjuangkan kesejahteraan bersama. Prinsip ini, menurutnya, bukan sekadar konsep sosial, melainkan bagian dari ajaran iman. Ia mengutip Gaudium et Spes—dokumen Konsili Vatikan II—yang menyatakan bahwa kesejahteraan umum adalah hak sekaligus tanggung jawab semua pihak.
“Setiap kelompok harus mampu melihat aspirasi kelompok lain. Kesejahteraan tak boleh menjadi milik eksklusif. Ini prinsip universal yang harus dijaga bersama,” jelasnya.
Agama Tak Bisa Dibela dengan Kekerasan
Menanggapi maraknya kelompok yang mengatasnamakan agama untuk menyebarkan ajaran dengan cara-cara represif, Romo Martinus menyampaikan keprihatinan. Ia menilai, kekerasan atas nama agama hanya mencederai ajaran itu sendiri.
“Sayangnya, masih ada orang yang percaya bahwa kemuliaan agama bisa dicapai dengan menindas sesama. Itu keliru besar. Cinta tidak bisa tumbuh di atas luka,” tegasnya.
Romo Martinus juga mendorong lebih banyak ruang perjumpaan lintas iman, khususnya bagi generasi muda. Ia menyoroti masih terbatasnya interaksi antaragama di sekolah dan lingkungan sosial.
“Banyak anak muda yang tumbuh tanpa pernah bersentuhan langsung dengan orang dari keyakinan berbeda. Ini berbahaya. Tanpa perjumpaan, prasangka akan tumbuh subur,” jelasnya.
Ia mengusulkan agar negara hadir sebagai fasilitator dengan menyediakan ruang publik yang inklusif—taman, lapangan, arena olahraga—sebagai titik temu anak bangsa dari berbagai latar belakang.
Menutup pernyataannya, Romo Martinus menyoroti praktik di sejumlah sekolah yang memisahkan pelajar berdasarkan agama dalam kegiatan pembelajaran. Ia menilai hal itu kontraproduktif terhadap semangat toleransi.
“Pemuda harus belajar hidup bersama sejak dini. Bila ruang pergaulan dibatasi oleh agama, kita sedang mencetak generasi yang kaku dan eksklusif. Justru dari perjumpaan, anak muda belajar bahwa orang lain juga punya kebaikan,” pungkasnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah