Jakarta – Dalam upaya menangkal radikalisme dan terorisme, integrasi antara empat bingkai kerukunan yaitu aspek sosial, keagamaan, kearifan lokal, dan hukum menjadi pilar penting dalam membangun kerukunan yang kokoh. Hal itu dikatakan akademisi senior Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan. Menurutnya keberhasilan dalam membangun integritas bangsa sangat tergantung pada sinergi antara berbagai aspek diatas.
Terkait peran sinergi antara aspek sosial dan keagamaan dalam membangun integritas bangsa, Prof. Abdul Munir menekankan bahwa kaum petani yang lebih emosional dan pedagang yang lebih rasional sering menjadi sasaran transisi ideologi berbasis kekerasan dengan metode yang beragam.
“Terduga teroris umumnya muncul dari kelas sosial transisi antara petani dan pedagang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang menggabungkan sentuhan emosional dengan rasionalitas untuk mengatasi radikalisme,” jelas Staf Ahli Kepala BIN Bidang Sosial Budaya ini, Senin (12/8/2024).
Ia menguraikan pendekatan emosional dapat dilakukan melalui pembuktian empiris tentang nasib tragis yang dialami oleh korban tindakan teroris, sementara pendekatan rasional bisa dilakukan dengan dialog yang mengacu pada ajaran para salafus shalih dalam konteks dunia modern.
Prof. Abdul Munir juga membahas mengenai ketimpangan pemerataan hak yang sering dijadikan alasan bagi beberapa pihak untuk bertindak radikal. Menurutnya, fakta ketimpangan pemerataan hak pada sebagian rakyat Indonesia hanya satu alasan di antara banyak alasan yang bisa memicu seseorang untuk berpikir dan bertindak radikal.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ketimpangan ekonomi dan sosial bisa menjadi pemicu, faktor-faktor lain seperti pemahaman ideologi yang salah dan pengaruh lingkungan juga berperan besar dalam memicu tindakan radikal,” ungkapnya.
Dalam konteks regulasi, Prof. Abdul Munir menegaskan bahwa regulasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup mendukung keberagaman suku dan budaya. Namun, ia menyoroti kurangnya sosialisasi yang masif mengenai regulasi tersebut.
“Regulasinya sudah mencukupi namun sosialisasi tentang regulasi tersebut dirasa kurang gencar dan masif. Pembubaran kegiatan yang terkait keagamaan sering kali disebabkan oleh perbedaan pemahaman tentang pokok ajaran dan aksesori, serta kurangnya kedewasaan dalam sikap perilaku keagamaan,” ujarnya.
Prof. Abdul Munir menekankan pentingnya kearifan lokal dalam meredakan tensi sosial yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridis atau politis. Bangsa dengan beragam suku bangsa ini memiliki khasanah kekayaan kearifan lokal yang dalam sejarah telah terbukti mampu menyatukan yang beragam itu dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurutnya, proses dari “Bhinneka” menjadi “Tunggal Ika” adalah sebuah perjalanan panjang yang memerlukan sosialisasi, indoktrinasi, dan edukasi yang menyentuh rasa dan hati nurani, bukan sekadar hafalan.
Menjawab pertanyaan mengenai hambatan bagi agama-agama di Indonesia untuk menggelorakan narasi kerukunan antar umat dan moderasi beragama, Prof. Abdul Munir mengungkapkan bahwa pemahaman keagamaan yang terlalu bipolar dan terobsesi pada simbol-simbol agama seringkali menjadi penghalang utama.
“Sepanjang pemahaman keagamaan lebih berat pada model bipolar (hitam-putih; Darussalam dan darul kufr) atau skripturalis yang terobsesi pada simbol-simbol, moderasi beragama hanyalah sekedar sebuah program atau proyek yang bisa jebol oleh sikap dan perilaku radikal,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam terhadap tujuan hakiki ajaran agama, termasuk evolusi makna dari Hifzu Al-Din (memelihara agama) yang kini dimaknai sebagai menjamin kebebasan berkeyakinan. Dalam pandangannya, tujuan dakwah dan pendidikan Islam bukanlah konversi keagamaan.
Prof. Abdul Munir menjelaskan, persiapan manusia untuk memenuhi syarat memperoleh hidayah iman dari Tuhan, serta mengembangkan manusia yang profesional, bertanggung jawab, dan berintegritas dalam kerja serta peduli pada sesama tanpa memandang batasan agama.
Dirinya berujar, integrasi antara aspek sosial, keagamaan, kearifan lokal, dan hukum adalah kunci dalam menciptakan kerukunan yang kuat sebagai pilar kekuatan bangsa. Juga pendekatan yang sinergis dan komprehensif diperlukan untuk menangkal radikalisme dan terorisme.
“Sosialisasi regulasi, pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama, dan penghargaan terhadap kearifan lokal adalah beberapa langkah penting yang harus terus dikembangkan. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjaga kedamaian dan persatuan di tengah-tengah keberagaman yang ada,” pungkasnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah