Dalam sejarah manusia, pewarisan nilai dan etika adalah bagian penting dari proses kebudayaan. Orang tua, sebagai aktor utama dalam transmisi nilai, sejak dulu telah menggunakan berbagai cara untuk mengajarkan anak-anak mereka bagaimana bersikap. “Jangan makan dengan tangan kiri”, “jangan lewat tanpa permisi di depan orang tua”, “jangan keluar malam”—ini adalah rambu-rambu etika yang dulu lekat dalam ruang sosial kita.
Di desa-desa, nilai-nilai ini masih hidup, meski kian rapuh. Namun ketika zaman berubah dan teknologi berkembang cepat, pewarisan etika seolah tertinggal jauh di belakang. Anak-anak generasi digital kini hidup dalam dunia yang belum disiapkan secara moral. Mereka memiliki perangkat teknologi canggih, tapi miskin panduan etika menggunakannya. Inilah krisis budaya yang tak banyak disadari.
Menurut antropolog Margaret Mead, dalam bukunya Coming of Age in Samoa, nilai-nilai budaya diturunkan melalui proses sosialisasi, di mana orang tua, lingkungan, dan tradisi berperan penting. Perilaku anak dan remaja tidak muncul karena persoalan naluriah atau bawaan biologis, tetapi lingkungan berperan penting dalam mengajarkan nili, norma dan peran sosial tertentu.
Bagaimana lingkungan budaya itu membentuk? Clifford Geertz melihat dengan apik bagaimana pentingnya simbol, cerita, dan ritus dalam membentuk kerangka moral suatu masyarakat.
Dulu, orang tua menyampaikan etika melalui dongeng, cerita rakyat, atau mitos sederhana yang berfungsi sebagai alat edukasi moral. Anak-anak belajar bukan hanya dari ucapan, tapi dari narasi yang membentuk kesadaran etis mereka. Ya, dongeng menjadi idola bagi anak-anak remaja zaman dulu yang tidak hanya diingat sebagai cerita naratif, tetapi sumber nilai etis di tengah masyarakat.
Namun kini, narasi itu runtuh oleh derasnya arus digital. Orang tua yang dulu menjadi sumber nilai, kini justru sering gagap menghadapi dunia baru. Mereka sendiri sedang belajar memahami ponsel pintar, media sosial, dan algoritma. Dalam situasi ini, etika menjadi barang langka. Anak-anak yang mahir dalam teknologi nyaris tidak memiliki filter moral. Mereka bisa mengakses apa saja, namun tidak tahu bagaimana bersikap terhadapnya.
Ada problem serius yang dihadapi masyarakat saat ini dalam pewarisan nilai. Masalahnya, perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibanding evolusi nilai. Dalam teori perubahan sosial Anthony Giddens, ketika struktur sosial tidak mampu mengikuti percepatan perubahan teknologi, maka akan terjadi dislokasi moral dan budaya. Inilah yang sedang kita hadapi.
Perkembangan barang baru tidak bisa ditampung oleh nilai etika lama. Sejak perkembangan televisi, misalnya, masyarakat sudah menjadi gelisah tentang perilaku anak. Perkembangan televisi pun masih berjalan lambat sehingga orang tua masih bisa mengejar ketertinggalan moral.
Namun, kini ketika perkembangan teknologi informasi melalui digital dengan perangkat keras handphone di tangan anak, pewarisan nilai itu tidak berjalan atau setidaknya lambat mengejar perkembangan.
Pernahkah kita mendengar ada orang tua yang mengajarkan: jangan main HP saat makan, jangan membalas komentar kasar di media sosial, jangan menyebar kabar yang belum pasti? Jawabannya mungkin ada, tapi sangat jarang. Bahkan, iklan layanan masyarakat yang dulu mengisi kekosongan edukasi etis kini hanya berfokus pada hukum positif—bukan pada nilai moral di baliknya.
Dalam Islam, etika atau akhlaq adalah inti dari misi kenabian. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Etika bukan hanya urusan pribadi, tetapi bagian dari keimanan. Rasulullah juga menegaskan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa setiap tindakan manusia—baik di dunia nyata maupun dunia digital—terikat oleh etika.
Al-Qur’an pun menekankan pentingnya etika dalam interaksi sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 11–12, Allah SWT melarang mencela, mengolok-olok, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menyebarkan prasangka buruk—semua hal yang justru kini marak di media sosial. Ini adalah pengingat bahwa etika bersifat lintas zaman dan harus terus direkontekstualisasikan.
Solusinya? Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa menanamkan nilai dengan cara baru. Orang tua perlu memahami teknologi agar bisa menjadi pendidik yang relevan. Cerita etis harus hadir dalam bentuk konten digital, pendidikan karakter harus masuk ke ranah daring, dan panduan moral harus dirancang agar bisa diakses anak-anak era layar sentuh.
Etika tidak pernah usang. Tapi cara mewariskannya harus terus diperbarui. Jika tidak, kita akan kehilangan generasi yang tahu cara menggunakan teknologi, tapi tidak tahu bagaimana bersikap terhadapnya. Maka tugas kita hari ini adalah menjahit kembali benang yang putus antara nilai lama dan dunia baru, agar kita tidak hanya melahirkan generasi cerdas, tetapi juga beradab.