pajak dan zakat

Heboh Sri Mulyani Samakan Zakat dan Pajak, Menilik Kembali Gagasan Integrasi Pajak dan Zakat ala Masdar Farid Mas’udi

Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan kesamaan pajak dan zakat. Menurutnya, ada titik temu manfaat antara pajak dan zakat dalam aspek kemanfaatan. Setiap rezeki dan harta yang didapatkan terdapat hak orang lain untuk diberikan baik melalui zakat, wakaf dan pajak. Sama halnya, dengan zakat, pajak juga diambil dari orang yang mampu dan dikembalikan pada yang membutuhkan dalam bentuk program-program pemerintah yang menyentuh lapisan masyarakat bawah.

Sepintas pernyataan Menkeu ini tidak ada persoalan yang perlu diributkan. Ia hanya menyamakan dalam aspek dampak kemnfaatan pajak dan zakat. Tidak pada aspek kesamaan subtansinya. Pajak dan zakat memiliki dampak sosial untuk kemashlahatan ammah.

Sebelum Sri Mulyani, gagasan serupa bahkan lebih metodologis dan argumentative, Masdar Farid Mas’udi pernah mengemukakan hal tersebut. Bahkan, tidak hanya pada aspek kesamaan dampak, tetapi upaya mengintegrasikan zakat dan pajak dalam kerangka kewajiban agama dan negara.

Dalam bukunya, Pajak Itu Zakat : Uang Allah untuk Kemashlahatan Rakyat (2010), mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ini mengajak umat dan negara untuk bersinergi membiayai kemaslahatan secara adil, transparan, dan diberkahi dengan memaknai pajak sebagai bentuk zakat.

Dalam konteks ini, Masdar Farid Mas’udi menawarkan gagasan segar pada masa itu untuk mengintegrasikan pajak dan zakat dalam satu instrumen keuangan publik yang dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Gagasan ini bukan hanya bersifat praktis, tetapi juga memiliki landasan teologis dan historis yang kuat.

Karena sebagai sebuah bentuk ijtihad, tentu kita harus membacanya secara ilmiah dengan perdebatan yang juga berdasarkan dalil, bukan perdebatan sekedar emosional.

Landasan Teologis: Harta adalah Milik Allah

Masdar menekankan prinsip dasar bahwa segala harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah pengelola (QS. An-Nur [24]: 33, QS. Al-Hadid [57]: 7). Ayat ini menjadi pijakan moral bahwa kepemilikan manusia bersifat relatif, dan penggunaannya harus sesuai dengan amanah-Nya.

Dalam perspektif ini, pajak dan zakat hanyalah mekanisme untuk mengembalikan sebagian dari harta Allah guna menjamin kesejahteraan bersama. Keduanya memiliki ruh yang sama: mengalirkan sebagian kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan, sehingga tercipta keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam QS. Al-Hasyr [59]: 7: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”

Pajak sebagai Zakat di Era Modern

Masdar mengajukan reinterpretasi bahwa pajak dapat berfungsi sebagai zakat bila dibayar oleh seorang Muslim dengan niat zakat. Dengan demikian, satu kali pembayaran dapat memenuhi dua kewajiban sekaligus: kewajiban agama (zakat) dan kewajiban kewarganegaraan (pajak).

Pendekatan ini terinspirasi dari fungsi zakat di masa Nabi Muhammad SAW yang tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga berperan sebagai instrumen fiskal negara untuk membiayai kebutuhan publik, termasuk perlindungan keamanan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Dalam kerangka fikih klasik, amil zakat adalah pihak yang ditugaskan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Masdar mengusulkan bahwa negara modern dapat berfungsi sebagai amil zakat, karena memiliki struktur, otoritas, dan kapasitas administratif untuk menghimpun dan menyalurkan dana publik secara luas.

Dalilnya antara lain QS. At-Taubah [9]: 60, yang menyebut “amilin” sebagai salah satu pihak yang berhak atas bagian zakat. Dengan menjadikan negara sebagai amil, pengelolaan pajak-zakat dapat dilakukan secara terpusat, profesional, dan sesuai syariat.

Menghapus Dualisme Pajak dan Zakat

Masdar mengkritik keras dualisme pengelolaan zakat dan pajak di Indonesia. Pemisahan ini menyebabkan banyak kondisi seperti ; beban ganda bagi umat Muslim, rendahnya kepatuhan terhadap kedua kewajiban, potensi fiskal umat Islam tidak termanfaatkan secara optimal dan distribusi bantuan sosial menjadi tidak efektif.

Dengan integrasi, sumber daya keuangan umat dapat dihimpun lebih besar dan diarahkan secara strategis untuk mengurangi kemiskinan, membiayai pendidikan, kesehatan, dan pembangunan berkelanjutan.

Masdar menegaskan, integrasi pajak-zakat hanya bisa berjalan jika aparat pajak berintegritas dan jujur. Selain itu, penggunaan dana transparan dan dapat diawasi publik. Serta penyaluran dana memprioritaskan kelompok lemah (mustahik) sesuai ketentuan syariat.

Ini sejalan dengan hadis Nabi: “Sesungguhnya para pemimpin kalian adalah pelayan kalian.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menegaskan bahwa pengelola dana publik adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang bebas menggunakan harta sesuka hati.

Landasan Historis: Bayt al-Mal

Gagasan Masdar memiliki akar sejarah yang kuat. Pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, zakat, kharaj (pajak tanah), dan jizyah (pajak non-Muslim) dikelola secara terpusat dalam Bayt al-Mal. Lembaga ini menjadi pusat keuangan negara untuk membiayai pelayanan publik dan program kesejahteraan.

Masdar melihat model Bayt al-Mal sebagai bukti bahwa integrasi zakat dan pajak bukanlah inovasi yang melanggar tradisi, tetapi justru menghidupkan kembali praktik klasik dalam format yang relevan dengan negara modern.

Argumen Fikih

Dalam kerangka ushul fiqh, Masdar menggunakan beberapa prinsip :

  • Al-Mashalih al-Mursalah: mengambil kebijakan yang jelas membawa kemaslahatan walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash.
  • Siyasah Syar’iyyah: kebijakan penguasa untuk kemaslahatan rakyat yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.
  • La Dharar wa la Dhirar: tidak boleh ada bahaya atau saling membahayakan, yang berarti tidak boleh membebani rakyat dengan kewajiban ganda yang bisa diintegrasikan.

Tantangan terbesar gagasan ini adalah munculnya esistensi sebagian ulama dan masyarakat yang memisahkan secara tegas pajak dan zakat. Selain itu, kurangnya kepercayaan publik pada pengelolaan pajak menjadi kendala tersendiri. Begitu pula banyak regulasi yang belum sepenuhnya memungkinkan integrasi.

Prospeknya integrasi pajak dan zakat ini sangat besar walaupun banyak kontroversi yang pernah mengitari gagasan ini. Namun, ketidaksepakatan mestinya juga harus diletakkan dalam kerangka gagasan yang argumentatif.

Dengan basis mayoritas penduduk Muslim dan potensi zakat nasional yang mencapai ratusan triliun rupiah, integrasi pajak-zakat dapat menjadi instrumen strategis mengentaskan kemiskinan sekaligus memperkuat legitimasi fiskal negara. Gagasan Masdar Farid Mas’udi ini patut menjadi perbincangan di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem pajak saat ini.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ken Setiawan 1

Lemahnya Literasi dan Pemahaman Agama Sejati Buka Celah Radikalisme di Kalangan Pelajar

Jakarta – Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menilai lemahnya literasi dan pemahaman agama yang …

terduga pelaku ledakan SMAN 72 copy

Pelaku Ledakan di Sekolah Tak Anti-Islam, Dipicu Masalah Emosional

Jakarta — Polda Metro Jaya menegaskan bahwa insiden ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta tidak …