antrian haji
ibadah haji di makkah ilustrasi

Tawaran Solusi Antrian Haji Kyai Masdar Masuki Dunia Arab

Keberanian karena kedalaman ilmu nampak dalam diri KH. Masdar Farid Mas’udi; sosok yang dipercaya menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Rais Syuriyah PBNU dan tidak asing dengan ijtihad intelektualnya tentang perluasan waktu haji tiga bulan. Selain kembali dikaji di masa pandemi Covid-19 di Indonesia, solusi haji tanpa antri kembali diangkat di media Arab. Dengan ketelitian dalil dan tuntutan kondisi, Kyai Masdar mengajak ulama dan pemangku kepentingan agar menfikirkan ulang pelaksanaan ibadah haji dan mendefinisikan waktu haji sesuai dasar syari’at Islam. Tidak diragukan bahwa semangat moderasi umat Islam Indonesia membuat mereka  lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang “baru”.

Setelah gagasan Kyai Masdar dibahas oleh sejumlah insitusi akademik dan keulamaan Indonesia diantaranya PBNU, UNISMA dan lainnya, pada tanggal 19/11/21 telah beredar luas di  koran Arab-Sudan dan akan dikaji oleh Majma Fikih Sudan di bulan Juli 2022 mendatang. Seorang pakar ushul fiqh Sudan jebolan Al-Azhar Mesir; Prof. Khalifah Babiker Alhasan menanggapi serius dan menilainya positif. Prof. Babiker yang sukses sebagai Ketua Tim Penulis Ensiklopedi Kaidah Fiqh  dan Ushul (Ma’lamah Zaid) setebal 41 Jilid dan Dekan Fakultas Syari’at dan Hukum Imam Malik di Dubai menilai solusi Kiai Masdar yang termuat di koran Akhbarelyoum dengan tema “Waktu Haji Beberapa Bulan; Memastikan Haji Tanpa Antri” sebuah bentuk ijtihad mendalam dan perlu terus digulirkan di media sosial.

Selain itu, Prof. Babiker berharap banyak ulama  dan  pemangku kepentingan yang mengkajinya secara akademis, jauh dari sikap  fanatik atau emosional. Ini tidak berbeda dengan harapan sejumlah ulama di Indonesia, termasuk Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf. Selain doktrin muwassa atau kelonggaran waktu haji tiga bulan yang sudah maklum dalam kajian fikih, disamping disebutkan secara gamblang dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 197 perlu dipahami sebagai solusi untuk memecahkan masalah haji. Menurutnya, gagasan yang cemerlang ini juga perlu dikaji di negara-negara muslim agar ada keberterimaan yang luas demi kemaslahatan umat Islam di seluruh dunia. Tentu tidak hanya penting bagi pemegang otoritas Arab Saudi, juga bagi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Majma Fikih Internasional.

Jika telah diterima luas pemilik otoritas akademik dan pemangku kepentingan sudah memiliki landasan syar’inya maka jutaan umat Islam akan mendapatkan peluang haji tanpa antri. Kewajiban ibadah haji bisa dijalankan di bulan Syawwal, Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah secara bergelombang mengingat waktunya membentang di bulan-bulan tersebut atau lebih longgar dari waktu rill yang dibutuhkan yaitu 5 hari atau 1 mingguan.  Dalam koran Arab tersebut, Kyai Masdar menguraikan secara panjang lebar landasan ilmiahnya. Tanggapan muncul, tidak hanya akademisi dan pakar ushul fiqh memberikan apresiasi, sejumlah masyarakat awam yang berprofesi pengusaha bahkan polisi pun “merasa paham” dan menerima gagasan Kyai Masdar itu, terlebih dengan pesan ayat “Al-Hajju Asyhurum Ma’lumaat” yang sangat gamblang bahwa waktu haji beberapa bulan.

Fakta di masa Pandemi, seluruh jama’ah haji pada tahun 2021 hanya dibatasi oleh Pemerintah Arab Saudi hanya 60 ribu jama’ah. Itu pun tidak ada jama’ah yang berasal dari luar Arab Saudi. Semakin banyak calon jama’ah haji yang tertunda keberangkatannya di masa Pandemi, disamping antrian haji yang sudah melebihi umur rata-rata manusia. Sebelum Pandemi, Malaysia antriannya sudah sampai 104 tahun. Di provinsi tertentu di Indonesia sudah lebih 80 tahun untuk menunggu giliran berangkat. Begitu juga dengan negara-negara lain.

Proses penggalian hukum dan perluasan waktu haji yang dirumuskan oleh Kyai Masdar menggunakan thariqatul istinbath yang juga dipakai para ulama, yaitu menggabungkan semua nash terkait waktu haji, serta diperkaya dengan pertimbangan hikmatut tasyri’ dari kenyataan perubahan ruang dan waktu sehingga  menuntut waktu haji ditinjau ulang. Kenyataan dimana jama’ah haji terus mengalami ledakan jumlah berdampak ke berbagai hal, misalnya  keselamatan jama’ah, rasa solidaritas, keaslian petilasan (masya’ir) yang diwariskan oleh Nabi, antrian keberangkatan hingga potensi  “risywah” (suap) pendaftar untuk mendapatkan kuota. Pertanyaan kemudian, lantas bagaimana jika ditambah dampak Pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir hingga saat ini?!. Tidak dapat diprediksi antrian haji semakin panjang berlipat-lipat dan berpuluh-puluh tahun.

Kondisi yang kompleks ini menurut Kyai Masdar belum pernah terpikirkan beberapa ratus, bahkan seribu tahun yang lalu ketika Fiqh Haji dirumuskan dan dibakukan sampai sekarang. Sudah sewajarnya kondisi tidak wajar ini menuntut para ulama zaman ini untuk menegaskan kembali status dan maksud hadist wukuf di Arafah dalam pelaksanaan haji. Tentu bukan berarti ulama dulu tidak mampu memberikan solusi atau berijtihad, melainkan masalah yang menuntut ijtihad belum muncul.  Al-hajju Arafah dimaknai oleh Kiai Masdar sebagai tempat wukuf, bukan waktu wukuf sehingga terjemahan hadits yang tepat, Haji itu di padang Arafah. Adapun waktu pelaksanaan wukuf di hari Arafah masuk kategori waktu istimewa atau waktu yang afdhal.

Jauh sebelum masa Pandemi, Kiai Masdar telah melontarkan masalah besar haji tersebut di tahun 1990-an dan pemikiran hajinya belum tersebar luas. Mengingat haji dianggap masalah serius, pada tahun 2010, media online Mesir memuat opini singkat seorang Penulis Mesir Jamal Al-Banna; adik kandung Pendiri Ikhwanul Muslimin/IM Hasan Al-Banna tentang mudlarat (bahaya) yang terjadi akibat ledakan jumlah jama’ah ibadah haji. Dalam paparannya, Ia mengaku mengutip secara langsung gagasan Kyai Masdar dan mengapresiasinya.

Jamal Al-Banna menyebut telah mendapatkan tulisan tentang gagasan haji Kyai Masdar  dari beberapa  rekannya di Saudi Arabia. Selain itu, Ia menyebut adanya beberapa peneliti Mesir yang juga menulis perihal waktu haji namun tidak tersosialisasikan  setelah dianggap tidak sama dengan ajaran pada umumnya. Jamal Al-Banna menilai pemikiran yang ditulis oleh orang-orang Mesir tersebut masih bersifat sepotong-sepotang (adhoc) dan tidak tambal sulam (incremental)  sebagaimana gagasan solutif kyai Masdar yang juga terasa menggugah kesadaran sejarah umat Islam.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …