pelajar kontra radikal

Hti Hembuskan Propaganda One Ummah Di Masa Tenang Pemilu 2024, Pelajar Lintas Agama Siap Kontra Narasi Radikal

Meski memasuki masa tenang Pemilu 2024, kelompok radikal tengah berupaya mengalihkan perhatian generasi muda melalui propaganda ‘One Ummah’ secara terselubung dengan memanfaatkan ruang digital. Hal ini mengundang kekhawatiran karena dapat memperburuk konflik antara kelompok Muslim dan non-Muslim di Indonesia.

Mengangkat tema “Metamorfoshow, It Is Time to be One Ummah”, satu diantara Pentolan HTI asal Kalimantan Barat berinisial PJS terlihat begitu gencar menyebarkan berbagai konten yang berpotensi menggerus nilai-nilai semangat keagamaan, keberagaman, dan kebangsaan. Beruntungnya, sebaran informasi terkait kegiatan berbahaya ini belum begitu massif terutama di instagram, baru diatensi ratusan akun, namun diperlukan pengawasan mendalam.

Untuk mengikuti event online bernuansa kapitalisme-relijius itu, setiap calon peserta dikenakan biaya registasi mulai Rp50.000,- sampai Rp350.000,-. Pertunjukan yang nantinya akan ditampilkan ialah Storrytelling, Historytelling, Puisi, hingga musik dan tentunya menggiring generasi penerus Ibu Pertiwi agar mengambil ideologi khilafah tahririyah sesuai arahan Petingginya.

Sehubungan respon terhadap narasi ekstremis tersebut, Penulis menyampaikan hasil penelusuran dalam Road Show Anti Terorisme Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Kalimantan Barat di Aula SMKN 6 Pontianak, membersamai anak-anak Gen-Z perwakilan dari beberapa sekolah tingkat SMA/sederajat, Rabu (7/2), kemudian berdiskusi interaktif tentang bagaimana tips mitigasi dini seseorang terpapar radikalisme terutama bagi pelajar putih abu-abu.

Bombastisasi doktrin “One Ummah” atau Umat yang Satu, disela momentum pesta demokrasi, PJS yang merupakan mantan Seniman lokal, menjelaskan maksud dibalik agenda brainwash khas HTI tak lain mencocokologi kejayaan Kerajaan Turki Utsmani, kemudian berpandangan bahwa Nusantara termasuk bagian dari proxi Ottoman, dikarenakan:

  1. Adanya kesatuan pemikiran
  2. Adanya kesatuan perasaan
  3. Adanya kesatuan peraturan (Khilafahisme)

Sekilas, ungkapan PJS terdengar menarik sebab siapa tak inginkan unifikasi ketiga hal baik tersebut, tapi apakah kemudian tidak menentang sunnatullah?. Ilustrasi sederhananya: Apakah kita sering melawan Orangtua? Apakah kita kerap menentang Guru?

Ketika Penulis melempar pertanyaan ini ke para siswa kelas XI,  mereka lantang; “sering”. Kalau demikian, lantas dimana letak bersatunya? Mengapa tak lantas kita satukan pemikiran, perasaan, dan peraturan berdasarkan kemauan atau perintah orangtua saja tanpa harus membantah?

Berlanjut contoh paling dekat, misalnya di dalam ruangan ini, mungkinkah bisa seragam sepaket seluruhnya dalam konteks isi kepala? Belum lagi bicara atribut lain. Kembali direspon kompak; “tidak mungkin”.

Akhirnya disepakati bahwa ajaran HTI bertentangan dengan norma kemanusiaan dan spirit Al-Quran tentang rahmat, kasih sayang bagi seluruh alam, termasuk umat manusia yang mencintai Tanah Airnya. Ditegaskan pula yang penting dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah kelapangan hati menerima perbedaan, baik suku, ras, agama.

Oleh karena itu, pemaksaan ideologi kelompok kecil namun ekstrem jika ditularkan ke anak muda, dampaknya akan sangat berbahaya, sehingga perlu dilakukan edukasi maupun pencegahan secara cepat, mengingat daya jangkau media sosial sangat luas bahkan nyaris tak terbendung.

Menurut penelitian Zakki Faddad (2018) yang berjudul, “Khilafahisasi Hizbut Tahrir (HTI) di Indonesia”, dengan beragam pengguliran isunya, menyedot atensi luas di kalangan masyarakat, kendati tidak untuk ide khilafahnya. Ide khilafah tahririyah dan syariah Islam (versi HTI) belum populer oleh masyarakat Indonesia. Dibuktikan hasil survey menunjukkan bahwa mayoritas WNI tidak sepakat agama menempati posisi formal dalam kehidupan bernegara, serta banyak yang menolak implementasi hukum syariah dalam peraturan perundangan di Indonesia. Ditambah partai-partai Islam poros kanan saat ini tidak terlalu menonjolkan isu tersebut disebabkan kurang populernya untuk diusung dalam pemilihan umum.

Riset diatas diperkuat dengan melakukan jajak pendapat kepada siswa-siswi, baik Muslim maupun Non-Muslim, menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap pemikiran khilafah yang dihembuskan HTI. Alasanya tentu akan menyebabkan disintegrasi bangsa dan kekacauan panjang.

“Kalau Khilafah (Tahririyah) diterapkan di Indonesia, bagaimana nasib saudara kita diluar agama Islam?”, cetus Dila.

“Negara Kesatuan Republik Indonesia sejatinya telah menjadi konsensus bersama agar kita semua terjamin dalam hidup berdampingan meski beda keyakinan”, ujar Elizabeth.

“Saya diajari oleh Ibu Guru bagaimana menghargai sesama sebagai bentuk pengamalan Pancasila, walau ekspresi dalam berketuhanan tidak sama. Jangan sampai ada pihak manapun yang berupaya mencabik-cabik Indonesia dan mencoba merubah identitas kita apalagi sampai ke paham radikal dan teroris,” seloroh Christoper, yang merupakan salahsatu pelajar aktif di sekolahnya.

Bagikan Artikel ini:

About Dany Chaniago

Penulis merupakan Eks Syabab HTI Provinsi Kalimantan Barat, bergabung tahun 2008 dan keluar tahun 2013. Pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Gema Pembebasan Borneo Barat tahun 2009 – 2011. Saat ini Penulis aktif sebagai Tenaga Pengajar di IAIN Pontianak dan berkhidmat di Nadhatul Ulama melalui Banom GP Ansor.

Check Also

HTI

Setelah Raup Rp240 Juta Pasca Event Terselubung HTI 1200 Peserta Gen Z Mau Dibawa Kemana?

Logistik yang tersendat, minimnya bantuan asing, dan stagnannya perekrutan kader (korban) baru, Hizbut Tahrir Indonesia …

Ghirah lakukan aksi terorisme

Indonesia Zero Attack dan Waspada Narasi Berbau Radikalisme Jelang Pemilu 2024

Indonesia Zero Attack tahun 2023. Kabar ini tentu melegakan kita semua bahwa sepanjang tahun kemarin …