hujan buatan

Hujan Buatan Menyalahi Takdir?

Hampir di beberapa wilayah di Indonesia dilanda musim kemarau dan kekeringan ekstrem. Kemarau yang terjadi lebih awal datang dan diprediksi akan berlangsung lebih lama dari pada tahun-tahun sebelumnya. Kekeringan, kurang air dan gagal panen melanda beberapa daerah.

Salah satu upaya yang dilakukan salah satunya adalah dengan bantuan hujan buatan melalui teknologi modifikasi cuaca.  Hujan buatan manusia, yang telah banyak digunakan oleh beberapa negara untuk mengatasi kekeringan di wilayahnya, adalah sebuah teknik yang bertujuan untuk merangsang hujan.

Hujan buatan memang tidak selalu menjamin, tetapi hanya usaha yang dilakukan untuk merangsang turunnya hujan. Dalam prakteknya, hujan buatan tidak seperti hujan alami lainnya yang bisa bertahan lama dalam waktu ke waktu.

Hujan buatan melibatkan rangkaian langkah untuk mempercepat dan meningkatkan frekuensi curah hujan. Untuk mencapai tujuan ini, kondisi tertentu perlu diciptakan. Awan dengan tingkat kelembaban yang tinggi dan angin yang bergerak perlahan adalah prasyaratnya. Dalam usaha ini, partikel-partikel halus seperti garam disebarkan ke dalam awan untuk merangsang uap air, yang selanjutnya bergabung dengan tetesan air yang ada dalam awan. Akibatnya, hujan dapat terbentuk dan mencapai permukaan bumi.

Dalam konteks agama Islam, hujan buatan manusia adalah hal yang baru. Rumusan tentang boleh atau tidaknya memang tidak mendapatkan landasan yang kuat. Biasanya hal itu akan dilarikan pada persoalan apakah hal itu mendahului takdir atau melawan takdir.

Dalam teologi Islam, semua yang terjadi di dunia adalah kehendak Tuhan. Sakit, sembuh, sehat, kemarau, hujan, siang dan malam adalah bagian dari kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini ditanamkan dalam alam semesta yang disebut sunnatullah atau hukum alam. Bagaimana mengetahui hukum alam?

Al-Quran Surah Ali-Imran ayat 190 yang berbunyi: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” Allah dalam beberapa ayat juga seringkali menggugah manusia berpikir dan mengenali tanda-tandanya.

Hujan adalah bagian dari proses alam sebagai kehendak Tuhan. Begitu pula penyakit adalah ciptaan Tuhan. Namun, manusia juga harus berusaha untuk menghindari hal yang menyebabkan mudharat terhadap kehidupannya.

Berusaha sembuh dari penyakit bukan bagian dari menyalahi takdir Tuhan. Berusaha keluar dari kekeringan yang dapat merusak kehidupan manusia juga bukan bagian dari melawan kehendak Tuhan.

Hujan dalam Islam misalnya digambarkan dalam al-Quran : “Tidakkah engkau melihat bahwa sesungguhnya Allah mengarahkan awan secara perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu menjadikannya bertumpuk-tumpuk. Maka, engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. Maka, Dia menimpakannya (butiran-butiran es itu) kepada siapa yang Dia kehendaki dan memalingkannya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nūr: 43).

Mekanisme hujan diatur oleh Tuhan melalui gerak alam. Semuanya tentu atas kehendak Tuhan. Mencoba memahami hujan buatan melalui mekanisme alam yang dipelajari dari alam tersebut bukan bagian dari menyalahi takdir Tuhan. Seperti manusia menciptakan lampu, kipas angin dan ragam teknologi lainnya untuk menghasilkan energi alam.

Pada prinsipnya, hujan buatan di tengah kekeringan bisa dilakukan dengan alasan. Pertama, Kelestarian Alam: Agama Islam mendorong umatnya untuk menghormati alam dan lingkungan. Jika teknik hujan buatan merusak ekosistem atau lingkungan alam, maka hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai pelestarian alam dalam agama ini.

Kedua, hasil yang diharapkan untuk kemashalahatan : Dalam beberapa kasus, hujan buatan digunakan untuk mengatasi kekeringan atau kekurangan air yang dapat membantu masyarakat. Dalam perspektif agama, hasil yang diharapkan dari tindakan ini mungkin dapat dianggap positif jika membantu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ketiga, niat dan tujuan untuk kebaikan : Agama seringkali menekankan pentingnya niat dan tujuan di balik tindakan. Jika hujan buatan digunakan untuk tujuan yang baik, seperti mendukung pertanian atau mengatasi krisis air, dengan niat yang baik, hal ini mungkin lebih dapat diterima dalam perspektif agama.

Selain itu, perlu adanya pemantauan dan pengaturan ketat dalam pelaksanaan teknik hujan buatan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan keseimbangan alam. Keputusan terkait dengan hujan buatan sebaiknya diambil dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, serta dengan konsultasi ulama dan otoritas agama untuk memastikan bahwa tindakan ini sejalan dengan nilai-nilai dan etika Islam yang menghormati alam, memberikan manfaat bagi masyarakat, dan didasari oleh niat yang baik.

Bagikan Artikel ini:

About Rufi Tauritsia

Check Also

sedekah laut

Sedekah Laut dalam Tradisi dan Akidah

Tradisi sedekah laut merupakan praktik yang umum dilakukan oleh para nelayan sebagai bentuk ungkapan rasa …

stuart

Stuart Seldowitz, Islamofobia dan Usia Pernikahan Aisyah

Stuart Seldowitz, seorang mantan penasihat pada masa Pemerintahan Presiden Obama, menimbulkan kontroversi dengan melontarkan ujaran …