Puncak religiusitas bukanlah klaim kepemilikan atas Tuhan, tetapi kerendahan hati dalam mengakui kebesaran-Nya melalui tanda-tanda alam
Kata orang beragama seringkali diidentikkan dengan ibadah. Padahal, sejatinya ibadah adalah praktek dari ketaatan beragama saja. Orang beragama pada esensinya adalah orang yang memiliki keimanan kuat dan kokoh. Keimanan ini adalah fondasi dari orang beragama.
Dari mana keimanan kokoh itu lahir? Iman yang kokoh bukan dari doktrin semata. Doktrin hanya pengantar untuk mengenali. Tetapi keimanan yang paling kokoh muncul dari pengakuan terhadap kebesaran Tuhan.
Maka, kita harus merombak mindset, siapa sih sebenarnya orang beragama dan beriman itu? Orang paling beragama bukan mereka yang selalu mengklaim memiliki Tuhan, bahkan terkadang sering menyalahkan keimanan orang lain. Orang paling beragama adalah mereka yang menemukan Tuhan karena ketakjubannya terhadap segala misteri yang diciptakanNya.
“The most beautiful experience we can have is the mysterious. It is the fundamental emotion that stands at the cradle of true art and true science.”
— Albert Einstein, The World As I See It (1934)
Inilah kutipan populer dari Albert Einstein. Kutipan ini tidak sekadar refleksi seorang ilmuwan, tapi juga ungkapan spiritual yang dalam. Baginya, pengalaman paling indah dalam hidup adalah menyentuh misteri. Misteri bukanlah kekosongan atau ketidaktahuan yang menakutkan, melainkan ruang keheningan tempat manusia menemukan keajaiban, rasa kagum, dan dorongan untuk memahami. Dari sanalah lahir ilmu pengetahuan dan seni. Tapi lebih dari itu, dari misteri pula lah lahir spiritualitas.
Apa yang dikatakan Einstein sejalan dengan inti ajaran Islam. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk membaca alam semesta. Tuhan tidak sekadar dikenali lewat doktrin atau ritual, tapi juga melalui refleksi atas ciptaan-Nya. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, dan mengambil pelajaran dari fenomena-fenomena kosmis maupun biologis.
Alam sebagai Teks Ilahiyah
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali ‘Imran: 190)
Ayat ini adalah contoh bagaimana Islam tidak menjadikan alam sebagai objek mati, tetapi sebagai tanda-tanda (āyāt) dari Tuhan. Langit dan bumi, siang dan malam — semua itu adalah isyarat spiritual yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang bersih dan akal yang terbuka. Dalam ayat lain, Allah bahkan menyebut nyamuk sebagai tanda kekuasaan-Nya:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu.”
(QS. Al-Baqarah: 26)
Dari makhluk sebesar gunung hingga sekecil nyamuk, semuanya menyimpan rahasia eksistensial yang mengarahkan manusia pada penciptanya. Misteri dalam ciptaan itulah yang melahirkan rasa kagum — rasa yang Einstein sebut sebagai fondasi dari semua spiritualitas sejati.
Nabi Ibrahim dan Refleksi Kosmik
Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Al-Qur’an adalah contoh klasik tentang pencarian Tuhan melalui refleksi kosmis. Dalam QS. Al-An’am: 75-79, digambarkan bagaimana Ibrahim merenung tentang bintang, bulan, dan matahari. Ia menolak semuanya sebagai Tuhan, hingga akhirnya menyimpulkan:
“Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”
(QS. Al-An’am: 79)
Proses berpikir dan kontemplasi Ibrahim menunjukkan bahwa puncak religiusitas bukanlah klaim kepemilikan atas Tuhan, tetapi kerendahan hati dalam mengakui kebesaran-Nya melalui tanda-tanda alam. Ketakjuban terhadap alam semesta bukan hanya dasar ilmu pengetahuan, tetapi juga jembatan menuju iman.
Einstein tidak percaya pada Tuhan personal seperti dalam agama-agama teistik, tapi ia memiliki apa yang ia sebut sebagai cosmic religious feeling — perasaan religius terhadap keteraturan dan keagungan alam semesta. Islam, meskipun memiliki konsep Tuhan yang personal, juga mengajarkan bahwa rasa takjub terhadap ciptaan adalah bagian dari iman.
Bahkan dalam shalat, kita sering membaca “Rabb al-‘ālamīn” — Tuhan semesta alam. Kata “‘ālamīn” berasal dari akar kata yang sama dengan “‘ilm” (ilmu), yang menunjukkan bahwa alam semesta adalah sarana untuk mengetahui Tuhan. Maka tidak heran jika dalam Islam, menuntut ilmu dianggap sebagai ibadah, dan merenungi ciptaan dinilai sebagai zikir.
Kekaguman Adalah Awal dari Iman
Einstein benar: misteri adalah pengalaman paling indah yang bisa kita miliki. Tapi bagi seorang Muslim, pengalaman itu bukan hanya indah, melainkan juga suci. Ia adalah pintu menuju makrifat, pengenalan akan Tuhan.
Ketika kita menatap bintang-bintang di malam hari, melihat embun pagi, menyaksikan hujan turun dari langit, atau mengamati seekor semut yang bekerja — kita sebenarnya sedang diundang untuk mendekat kepada-Nya. Inilah inti dari spiritualitas Islam: iman yang lahir dari kontemplasi, bukan sekadar warisan; dari rasa kagum, bukan dari dogma.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17–18)
Mari membuka hati dan akal untuk mengalami misteri — karena dalam misteri itulah kita bertemu dengan makna, dan akhirnya, dengan Tuhan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah