Jakarta – Polemik soal sertifikasi penceramah akhir-akhir ini masih belum menemukan solusi. Wacana pemberian sertifikat untuk para dai dari Kementerian Agama (Kemenag) tersebut menuai beragam reaksi dari berbagai pihak. Salah kritik keras bahkan terkesan penolakan datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Beberapa pengurus MUI yang mengkritik dan menolak kebijakan tersebut antara lain Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi, Sekjen Anwar Abbas dan Wakil Sekjend MUI Tenku Zulkarnain. Tiga pengurus MUI tersebut tidak sepakat dengan rencana Kemenag.
Reaksi penolakan MUI terhadap wacara sertifiksai dai dari Kemenag tersebut menuai reaksi dari Lembaga Dakwah PBNU (LDNU). Lewat akun resmi Instagramnya, @Idnu1926 mereka menulis cuitan yang diberi judul: Surat Cinta untuk Majelis Ulama Indonesia. Surat cinta itu ditandatangani KH. Ahmad Ishomuddin (Rais Syuriyah PBNU)
“Jika kalian benar-benar Ulama, Mengapa harus takut dengan ide sertifikasi ulama? “Sebagai perwakilan Ulama mestinya kalian kalian perlu galau dan takut pada apapun. Apalagi hanya sertifikasi,” bunyi cuit tersebut dikutip dari laman suarajatim.id, Senin (14/9/2020).
“Tukang sertifikasi ko takut disertifikasi?”
“MUI berani mengambil sertifikasi halal untuk kulkas, giliran ada ide perlu sertifikasi ulama, ada banyak orang MUI yang ketakutan dan paling dulu menolak”
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengatakan wacana sertifikasi bagi para ulama bisa diterapkan untuk masjid yang dimiliki kantor-kantor pemerintahan, bukan untuk semua masjid di Indonesia.
“Sertifikasi itu khususnya untuk dai yang mau ceramah di masjid yang diatur oleh kantor-kantor pemerintah. Jadi, kantor pemerintah atau masjidnya hanya mengundang dai yang sudah tersertifikasi, tapi tidak untuk semua masjid yang ada di Indonesia,” katanya di Jakarta, Minggu (13/9/2020).
JK sapaan gaul Jusuf Kalla melanjutkan, untuk menerapkan sertifikasi terhadap seluruh dai di semua masjid bukan pekerjaan mudah. Terlebih lagi, kiai bukan merupakan label yang diperoleh karena menyelesaikan pendidikan tertentu, melainkan diperoleh berdasarkan penilaian masyarakat.