islamofobia di eropa
islamofobia di eropa

Islamofobia di Negara Barat Telah Dimanifestasikan Dengan Kekerasan dan Terorisme

Jakarta  – Kasus Islamofobia di negara-negara barat, terutama di Eropa akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang luar biasa. Hal itu diketahui dari hasil riset lembata think tank Turki, SETA, yang dipublikasikan pada Minggu (21/6/2020).

Dalam “Laporan Islamofobia Eropa 2019 “, disebutkan, muslim yang tinggal di negara-negara Eropa cenderung mendapat perlakuan diskriminatif. Masyarakat Eropa menurut laporan ini semakin kewalahan oleh wacana Islamofobia.

Laporan itu juga menunjukkan pemerintah dan media arus utama berpartisipasi mereproduksi wacana Islamofobia yang membahayakan hak-hak dasar jutaan warga Eropa. Pada 2019, ada kenaikan jumlah insiden kebencian pada muslim dan bangkitnya ketakutan pada orang asing.

“Pemilihan umum di Parlemen Eropa dan beberapa parlemen nasional memperlihatkan peningkatan popularitas partai-partai ultra-nasionalis di beberapa negara,” ujar laporan tersebut.

Kondisi itu membuat banyak kalangan merasa khawatir, termasuk intelektual Indonesia. Ahmad Suaedy, pengajar pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) mengatakan Islamofobia mengalami pasang naik di negara-negara barat.

“Sekarang Islamofobia bukan saja persaingan di lapangan pekerjaan. Tapi juga dimanifestasikan dalam kekerasan, penyerangan fisik dan terorisme,” ujar dia saat dihubungi Anadolu Agency, Senin (22/6/2020).

Laporan tersebut juga mengonfirmasi bahwa orang-orang dari etnis minoritas atau ras di Uni Eropa mengalami risiko kesulitan ekonomi yang lebih tinggi, perumahan berkualitas buruk, segregasi perumahan, pengangguran dan serangan.

Laporan Islamofobia itu diterbitkan setiap tahun sejak 2015 guna menyelidiki secara rinci dinamika yang mendasari yang secara langsung atau tidak langsung munculnya rasisme anti-Muslim di Eropa.

Menurut Suaedy, islamofobia juga hadir dengan kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di Amerika Serikat. Selain itu Islamofobia juga muncul di Australia setelah warga negaranya menjadi pelaku penembakan 51 jamaah sholat Jumat di dua masjid New Zealand.

“Ada penelitian ‘Far right-wing violence and terrorism’, yang mengungkap kekerasan dan terorisme lebih banyak dilakukan oleh mereka ketimbang orang Islam dan pendatang,” ungkap Suaedy dikutip dari laman Republika.co.id.

Menurut Suaedy, kebangkitan Islamofobia adalah gejala populisme oligarki. Fenomena seperti ini merupakan respons kebangkitan gerakan rakyat bawah seperti saat terpilihnya Presiden Obama, menjadi sentimen kulit putih kaya raya pada Trump.

Gerakan seperti ini kata Suaedy juga muncul di India dengan mengeluarkan UU Kewarganegaraan yang mendiskriminasikan muslim oleh Hindu. Di Myanmar juga terjadi diskriminasi etnis Rohingya oleh Budhis.

“Jadi ini bersifat global. Tapi masing-masing wilayah punya isu yang spesifik,” ujar dia.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

berbakti kepada orang tua

Khutbah Jumat : Birrul Waliadain

Khutbah I   اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللّٰهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ …

Pelatihan Guru di Serang 1

Era Digitalisasi, Perlu Strategi Baru Bentengi Generasi Muda dari Intoleransi dan Radikalisme

Serang – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei harus bisa …