Demonstrasi yang pecah beberapa hari terakhir di berbagai daerah di Indonesia meninggalkan luka mendalam. Korban berjatuhan, mulai dari mahasiswa, pengendara ojek online, hingga warga sipil yang tak tahu-menahu soal aksi. Api yang membakar fasilitas publik, bentrokan yang menegangkan, hingga narasi penuh kengerian di media sosial menjadi potret buram dari wajah demokrasi kita.
Tentu, kejadian anarkisme dari pembakaran, penjarahan dan kekerasan itu bukan murni bagian dari aspirasi masyarakat. Ada gerakan yang menyulut emosi hingga provokator dari luar yang sedang bermain. Akibatnya, emosi masyarakat meluap dan meluapkan ke berbagai fasilitas publik dan pribadi.
Namun, sebagaimana kata pepatah, tidak ada asap tanpa api. Setiap gejolak sosial selalu berawal dari pemicu.
Dalam kasus ini, pemicu itu lahir dari perkataan. Lidah para elite yang mestinya menjadi teladan rakyat menjadi sumber bara api. Perkataan yang menyakiti, yang dianggap menantang, bahkan merendahkan jeritan hati rakyat, telah berubah menjadi bara yang membakar amarah publik.
Lidah yang seharusnya menyejukkan, justru menjadi pemantik luka. Dari sini kita belajar, betapa besarnya kekuatan kata-kata, dan betapa berbahayanya jika lisan tidak dijaga dengan baik.
Lidah: Kecil tapi Mematikan
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lidahnya) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan menjamin surga baginya” (HR. Bukhari). Hadis ini mengingatkan kita bahwa keselamatan manusia, bahkan keselamatan pemimpin, amat bergantung pada bagaimana ia menjaga lisannya.
Lidah memang kecil, tapi dampaknya bisa lebih besar dan tajam dari pada pedang. Kata-kata yang salah dan menyakiti bisa memicu pertikaian, memecah persatuan, bahkan menumpahkan darah.
Apalagi lisan seorang pemimpin. Pertanggungjawabannya tentu lebih berat. Ia bukan hanya bicara untuk dirinya sendiri, tetapi untuk jutaan orang yang memperhatikan, menilai, dan merespons ucapannya.
Al-Qur’an juga menekankan pentingnya menjaga ucapan. Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (qaulan hasanan). Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 53).
Perkataan yang kasar, meremehkan, atau menantang rakyat, sesungguhnya membuka celah bagi setan untuk menyalakan api fitnah.
Luka Rakyat, Luka Bangsa
Demonstrasi berdarah ini adalah cermin yang menyakitkan. Di satu sisi, ada rakyat yang menjerit menuntut haknya. Di sisi lain, ada pemimpin yang justru dianggap menyakiti dengan kata-kata.
Di sinilah situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok anarko dan pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menunggangi keresahan rakyat. Mereka adalah para provokator yang justru mencari keuntungan dari darah dan air mata bangsa.
Namun tetap, pelajaran penting dari tragedi ini kembali pada ucapan seorang pemimpin. Rakyat bisa bersabar menghadapi kesulitan hidup, tetapi sulit menerima ketika mereka merasa dihina oleh lidah penguasanya. Rakyat bisa memaklumi keterbatasan ekonomi, tetapi tidak bisa menerima ketika suara mereka dianggap remeh.
Pemimpin Sejati Menyejukkan, Bukan Membakar
Pemimpin yang baik bukan hanya mengatur, tetapi juga menyejukkan. Ia sadar bahwa setiap ucapannya bisa menjadi doa, bisa menjadi inspirasi, atau sebaliknya, bisa menjadi luka. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memerintahkan: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (QS. Ali Imran: 159).
Ayat ini menegaskan bahwa kelembutan dan tutur kata yang baik adalah kunci keberhasilan kepemimpinan. Jika Nabi Muhammad ﷺ saja, sebagai pemimpin agung, dipuji karena kelembutannya, apalagi para pemimpin dunia hari ini.
Tragedi demonstrasi berdarah ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Bahwa lidah bisa lebih tajam dari senjata. Bahwa ucapan seorang pemimpin bisa menentukan arah nasib rakyat. Bahwa kata-kata bisa menjadi pemicu perpecahan atau sebaliknya menjadi perekat persatuan.
Jika para pemimpin mampu menjaga lisannya, mampu menenangkan rakyat dengan perkataan yang santun dan penuh kasih, niscaya api demonstrasi tidak akan membesar. Sebaliknya, rakyat akan bersedia diajak duduk bersama, berdialog, dan mencari solusi terbaik.