Pernikahan merupakan ritual yang sakral. Tuntutan Nabi yang menyimpan sejuta tujuan. Salah satu motivasi beliau yang direkam dalam sebauh hadis adalah kesenangan beliau melihat umatnya yang melahirkan banyak anak sebagai regenerasi melanjutkan misi kenabian yang dirisalahkan Allah.
Pernikahan adalah ajaran Islam yang harus disikapi secara serius, bukan main-main dan bukan hanya sarana menuntaskan hasrat biologis semata. Ia agung dan mulia. Karenanya, harus abadi dan langgeng. Sebab, perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian.
Sebab sakralitas dan keagungan pernikahan tersebut, walimah nikah kemudian disyariatkan oleh Rasulullah sebagai bentuk pemberitahuan kepada khalayak banyak bahwa sepasang manusia umat Nabi Muhammad telah melangsungkan pernikahan. Kata Nabi, “Gelarlah pesta pernikahan meski hanya dengan memotong seekor kambing”.
Awalnya, walimah nikah dimaksudkan untuk mengundang sanak kadang, sahabat dan handai taulan untuk berkumpul dan makan bersama. Memberitahukan bahwa dua insan telah menikah dan sekaligus memohon doa restu untuk kedua pasangan. Tidak ada kewajiban tamu undangan untuk memberi hadia atau kado pernikahan.
Tapi, dalam perjalanan berikutnya, tamu undangan yang hadir kemudian terbiasa membawa kado atau hadiah yang diberikan kepada pasangan yang melangsungkan walimah nikah. Hal ini memicu para ulama fikih untuk membahasnya. Apakah kado pernikahan termasuk hadiah atau hutang?
Diantaranya, Syaikh Abi Bakr Utsman bin Muhammad Syatha al Dimyathi mengulas fenomena tersebut dalam karyanya Hasyiah I’anatu al Thalibin (3/48).
Tulisnya, tradisi pemberian kado atau hadiah pernikahan yang terjadi di zaman kita sekarang, baik diberikan langsung kepada kedua mempelai atau diberikan kepada wakilnya, apakah termasuk hibah (hadiah cuma-cuma) atau termasuk hutang? Mayoritas ulama berpendapat termasuk kategori hutang. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain berpendapat termasuk hibah atau hadiah cuma-cuma.
Masih dalam kitab yang sama, para ulama yang lain kemudian mencari langkah alternatif untuk memadukan dua pendapat tersebut. Hasilnya, status hukum kado atau hadiah pernikahan termasuk hibah atau hutang tergantung adat istiadat yang berlaku di suatu tempat. Apabila tradisi di suatu daerah menganggap hadiah pernikahan adalah pemberian cuma-cuma, maka hadiah pernikahan termasuk hibah dan tidak wajib dikembalikan. Sebaliknya, bila anggapan umum masyarakat menilai kado pernikahan termasuk pinjaman yang harus dikembalikan, berarti termasuk kategori hutang.
Menurut saya, langkah alternatif memadukan dua pendapat ini berangkat dari sebuah kaidah fikih “al ‘Adatu Muhkamah”. Yaitu, tradisi yang berkembang dalam satu komunitas masyarakat yang hidup bersama bisa dijadikan sebagai sandaran hukum. Dengan syarat, tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai universal ajaran agama Islam. Karenanya, status hukum cinderamata walimatul ‘ursi atau pesta pernikahan sifatnya sangat lokalitas. Bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Pada satu wilayah masuk kategori hibah, sementara dalam satu komunitas lain yang berbeda lokasi dikategorikan sebagai hutang.