Takfiri atau mengkafirkan terhadap sesama muslim adalah fitnah terbesar dalam sejarah Islam. Fitnah ini dimulai dari sejarah kelam kelompok Khawarij yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim, bahkan enteng menghabisi nyawa saudara seiman dan seagama karena dianggap kafir.
Belakangan kelompok takfiri ini mengklaim bahwa mengkafirkan adalah bagian dari dakwah sunnah Rasulullah. Tokoh seperti Aman Abdurrahman misalnya, mendasarkan kewajiban mengkafirkan itu pada sebuah hadist. Baginya, prinsip bertauhid bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid, tetapi juga menyelami maknanya dan mengkafirkan orang yang berperilaku syirik.
Bahkan ia mengatakan tidak sah shalat di belakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar. Baginya, bertauhid berarti mengkafirkan dan melakukan jihad terhadap mereka yang kafir dan orang yang tidak mengkafirkan orang yang kafir.
Hadist yang dijadikan pijakan sebagai berikut : “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan dia kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah ‘azza wa jalla” (HR. Muslim).
Berangkat dari hadist ini mereka mengartikan “kafara” bukan hanya mengingkari, tetapi proses aktif mengkafirkan sebagai persyaratan bertauhid. Berangkat dari pernyataan tokoh yang sangat dipuja kelompok Wahabi, yakni Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang mengatakan : orang yang mengkafirkan para perlaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir (risalah nawaqidlul Islam).
Pernyataan yang sangat ekstrem ini menjadi dasar beberapa tokoh, ulama Najd dan ideolog teroris seperti Aman Abdurrahman untuk menegaskan kewajiban untuk mengkafirkan dan memerangi mereka yang juga tidak mengkafirkan pelaku syirik. Orang yang bersikap lunak dan tidak mengkafirkan itu menjadi penyebab pembatalan terhadap Islam dan wajib diperangi. Jadi, takfiri sebagaimana Aman pernah menulis dalam bukunya adalah bagian dari dakwah Rasul.
Mengkaji Hadist : Manusia Hanya Berhak Menghukumi Lahiriyah
Hadist ini disamping tidak hanya perlu dipahami mendalam bukan diselewengkan, tetapi perlu pemahaman terhadap hadist yang lain. Sejatinya hadist di atas adalah prinsip bertauhid sebagai syarat masuk Islam. Bertauhid adalah mengucapkan kalimat tahlil dan mengingkari (kafara) terhadap semua yang disembah selain Allah. Bertauhid berarti bukan saja mengakui Ke-Esa-an Tuhan, tetapi juga menolak semua yang disembah selain Allah.
Bagi kelompok ekstrem kata “kafara” yang berarti mengingkari, mengabaikan, menolak diletakkan menjadi “kaffara” yang berarti proses aktif mengkafirkan. Kesalahan pemaknaan ini tentu tidak sesuai dengan kandungan hadist di atas kecuali dari kelompok seperti kelompok Wahabi dan ulama Najd yang menjadi sandaran mereka.
Sejatinya, siapa yang mengamalkan tauhid dan menjalankan syariat secara lahiriah, wajib dilindungi harta, jiwa dan darah serta kehormatannya. Haram darah seorang muslim karena secara lahiriah dia sudah mengucapkan kalimat syahadat. Tidak ada alasan untuk mengkafirkan dan memerangi mereka. Hukum di dunia berdasarkan amalan lahiriyah, sedangkan di akhirat adalah niat dan tujuan batin yang hanya Tuhan berhak menghakimi.
Pengertian ini senada dengan hadist yang diriwayatkan Imam Muslim dari dua matan yang berbeda. Hadist pertama dari Usamah bin Zaid yang diutus untuk menyerang kaum musyrik dari kalangan pemberontak. Ia bertemu dengan salah satu dari mereka dan ketika hendak mau dibunuh ia mengucapkan “la ilaha Illallah”. Orang anshar menahan diri untuk menusuk sedangkan Usamah menusuknya.
Sampai di Madinah kabar itu didengar oleh baginda Rasulullah. Beliau menegor : Wahai Usamah, apakah benar kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan “La ilaha illallah”?. Usamah beralasan : Wahai Rasulullah sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan saja.
Nabi tidak menggubris penjelasan Usamah, tetapi kembali menanyakan : Apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan “La ilaha illallah”?. Ucapan ini terus menerus diulangi oleh Nabi yang menunjukkan ketidaksetujuan dengan apa yang dilakukan Usamah. Dalam Riwayat yang lain Nabi berkata : mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut senjata atau tidak?
Hadist yang lain diceritakan bukan Usamah bin Zaid tetapi ada sahabat lain yang melakukan tindakan itu. Nabi menegor sahabat itu, lalu dia menjawab : “aku menyerangnya karena dia menyakiti kaum muslimin dan telah membunuh si fulan dan si fulan. Ketika mau dibunuh ia mengucapkan La ila illallah”
Nabi mengatakan : Lalu, apa yang akan engkau lakukan terhadap la ilaha illallah, jika kalimat itu datang pada hari kiamat? Sahabat tadi memohon kepada Nabi : Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan kepada Allah untukku.
Dua hadist ini memberikan pelajaran penting bagi umat Islam untuk berhati-hati dalam menghakimi kafir terhadap mereka yang sudah mengucapkan syahadat. Sekalipun dalam hatinya kita tahu yang sebenarnya, tetapi kalimat syahadat adalah sakral yang hanya Tuhan yang tahu persis apa isi hati seseorang.
Manusia tidak boleh melampaui otoritas Tuhan dengan menjadi hakim atas isi hati seseorang. Sabda Nabi patut kita renungkan : bagaimana jika kalimat syahadat yang pernah diucapkan oleh seseorang itu hadir nanti di hari kiamat. Bagaimana engkau mempertanggungjawabkan klaim kafir terhadap mereka yang sudah bertauhid. Maka jika salah kita menebar kata kafir kepada saudara seiman khwatirnya kekafiran itu berbalik kepada diri kita.
Sebagai renungan mari kita lengkapi kehati-hatian kita agar tidak mudah menebar klaim kafir. Diriwayatkan dari Sa’id bin Manshur dari Abu Mu’awiyah dari Ja’far bin Burqan dari Yazid bin Abu Nusybah dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada tiga hal yang merupakan bagian dari dasar iman, yakni (1) menjaga lisan dari orang yang telah mengucapkan “Lâ ilâha illallâh”. Jangan mengafirkan mereka sebab suatu dosa serta jangan mengeluarkan mereka dari Islam sebab suatu perbuatan; (2) jihad yang tetap berlaku sejak Allah mengutusku hingga akhir dari umatku membunuh Dajjal. Keberlakuan itu tidak akan gugur sebab kekejaman orang yang jahat dan tidak juga sebab keadilan orang yang adil; (3) dan iman dengan qadar Allah (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)”.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah