Tulisan ini berawal dari perbincangan hangat antara penulis dan senior penulis tentang keberadaan Tuhan. Sebagai orang yang beragama, kami jelas sepakat bahwa Tuhan itu ada. Namun, ketika sampai pada titik pembahasan apakah keberadaan Tuhan itu membutuhkan tempat, kami mulai berbeda pendapat. Senior saya mengatakan Tuhan itu bertempat; sementara saya sebaliknya, percaya bahwa Tuhan tidak bertempat.
Jika ada yang bertanya apakah Tuhan bertempat atau tidak, maka penulis secara jelas akan mengatakan tidak. Sebab, jika Tuhan bertempat, ada beberapa konsekuensi yang dalam pandangan penulis, Tuhan tak lagi dapat dikatakan Tuhan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan bertempat.
Satu. Mari kita mulai dengan salah satu sifat Tuhan yang sudah sangat dikenal di kalangan muslim, mukhalafatuhu li al-hawadits (berbeda dengan makhluk). Sifat ini secara mutlak akan menafikan keserupaan dengan alam (segala entitas selain Allah) atau pun makhluk, baik dari segi dzat, sifat, bahkan perbuatan-Nya (As-Sanusi, 2012). Jika Tuhan bertempat, hal ini sangat bertentangan dengan sifat-Nya yang berbeda dengan apapun. Sehingga secara tak langsung bisa dikatakan Tuhan adalah makhluk, bukan lagi Sang Khaliq (Pencipta), sebab yang bertempat itu hanyalah makhluk.
Dua. Konsekuensi selanjutnya adalah tak berlakunya salah satu sifat Tuhan yang lain, qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri). Dari sifat ini, bisa disimpulkan bahwa Tuhan tidak membutuhkan apa pun selain diri-Nya sendiri. Sebab, jika Tuhan membutuhkan sesuatu, maka Tuhan adalah dzat yang mungkin (ada). Segala yang mungkin pasti hadits (entitas yang baru), sedang segala yang hadits membutuhkan penyebab dan tempat (Ad-Dasuqi, 2012).
Ketika Tuhan dikatakan bertempat, jelas sangat bertolak belakang dengan sifat ini. Penafsiran ini membuat Tuhan seakan-akan membutuhkan entitas lain untuk keberadaan-Nya, yaitu tempat itu sendiri. Masalah ini juga mengakibatkan dekadensi kekuasaan Tuhan sebab adanya entitas lain yang dianggap lebih besar dan berkuasa daripada Tuhan. Sehingga membuat Tuhan bukan lagi yang paling berkuasa.
Tiga. Dalam hukum fisika waktu dan tempat adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sebab waktu ada ketika ruang/tempat ada. Demikian juga, bila Tuhan bertempat, maka Dia akan terhubung dengan waktu. Nah, masalah baru kita muncul lagi: apa yang ada sebelum Tuhan dan juga setelah Tuhan? Sebab setiap yang memiliki awal maka juga ada penyebabnya atau yang membuatnya ada, artinya Tuhan itu tercipta. Lalu, siapa yang menciptakan Tuhan? Dengan demikian keberadaan Tuhan akan menjadi sangat kompleks.
Sebagaimana dalam pemikiran al-Farabi, hakikat Tuhan adalah wujud sempurna yang ada tanpa suatu penyebab. Karena, apabila keberadaan-Nya memiliki sebab berarti Dia bukan dzat yang sempurna, sebab ketergantungan-Nya terhadap suatu penentu (penyebab). Dengan demikian, Tuhan adalah dzat yang akan selalu ada tanpa batasan waktu dan ruang. (Aziz, 2015)
Karenanya, Tuhan disebut yang paling awal dan yang paling terakhir, sebab Tuhan memang tidak terikat oleh waktu. Demikian juga, Tuhan memiliki sifat Yang Dzahir dan Yang Batin karena Dia memang tak bertempat. Juga jika Tuhan terikat oleh waktu, maka sifat Tuhan yang kekal tidak lagi relevan. Sebab, segala hal yang berhubungan dengan waktu pada akhirnya pasti akan mengalami kerusakan dan kebinasaan. Dan ketika Tuhan binasa, maka Tuhan bukan lagi Yang Maha Hidup.
Empat. Kemudian ketika Tuhan bertempat, maka secara tak langsung dapat dikatakan Tuhan itu tidak ada. Mengapa demikian? Saat Tuhan bertempat, maka keberadaan Tuhan hanya terbatas pada tempat itu. Sedangkan di tempat lain, Tuhan tidak ada. Akibatnya, saat itu Tuhan memiliki sifat wujud (ada) di suatu tempat, sekaligus ‘adam (tiada) di tempat yang berbeda, yang mana dua sifat ini saling bertentangan.
Sama halnya dengan waktu. Ketika Tuhan diikat oleh waktu, maka Tuhan hanya ada pada waktu tersebut. Sedang, di waktu lain, tidak ada. Hal ini mustahil, sebab Tuhan adalah wajib al-wujud, artinya Tuhan harus ada, tidak boleh tidak ada. Berbeda dengan makhluk yang merupakan mumkin al-wujud—makhluk itu bisa saja ada dan tidak ada di suatu tempat atau waktu yang berbeda.
Dengan demikian, konsep bahwa Tuhan bertempat dapat menimbulkan kerancuan dan pertentangan dengan dalil-dalil yang ada, baik yang bersifat naqli maupun aqli. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan mengenai keberadaan Tuhan. Sebagai penutup, menjadi seorang yang beriman tidak hanya berarti melaksanakan perintah syariat. Untuk mempertahankan keimanan, kita perlu memiliki pemahaman yang mendalam sehingga tauhid kita tidak mudah goyang.Wallahu a’lam.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah