Jakarta – Mahkamah Internasional PBB (ICJ) akan jatuhkan keputusan terkait langkah-langkah darurat harus diberlakukan terhadap Myanmar terkait dugaan genosida terhadap Muslim Rohingya, minggu depan. Rencana itu dirilis ICJ, Rabu (15/1/2018).
Keputusan itu dikeluarkan sebulan setelah ICJ bersidang atas laporan dari Gambia, negara kecil di Afrika Barat. Sidang itu menghadirkan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Pada sidang itu Suu Kyi tetap membela penumpasan berdarah tahun 2017 oleh tentara Myanmar terhadap Muslim Rohingya.
Gambia membawa kasus terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) setelah sekitar 740.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, dan melaporkan terjadinya perkosaan, pembakaran, dan pembunuhan massal secara luas.
“Mahkamah Internasional Kamis 23 Januari 2020 akan menyampaikan keputusannya terhadap permintaan diambilnya langkah-langkah darurat yang diajukan Gambia,” kata ICJ dalam sebuah pernyataannya.
Kementerian Kehakiman Gambia telah mengumumkan tanggal tersebut di Twitter Rabu pagi. Gambia mengajukan kasus terhadap Myanmar yang mayoritas beragama Budha dengan dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam. Kanada dan Belanda sejak itu juga memberikan dukungannya.
Pada persidangan bulan Desember, Gambia menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida PBB 1948, yang berarti kasus itu bisa diajukan ke ICJ, badan peradilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Gambia juga mengatakan ada “risiko serius dan nyata akan berulangnya genosida” dan menyerukan langkah yang mendesak untuk mencegah Myanmar melakukan kekejaman lebih jauh atau menghapus bukti-bukti kejahatannya.
Tidak jelas seberapa spesifik tindakan darurat itu nantinya, tetapi menegakkan keputusan tersebut kemungkinan akan sulit.
Jika ICJ memutuskan mendukung Gambia, ini akan merupakan langkah pertama dalam kasus yang kemungkinan akan berlangsung selama bertahun-tahun.
Diperkirakan 600.000 warga Rohingya masih tinggal di negara bagian Rakhine, barat Myanmar dalam kondisi yang oleh Amnesty International disebut sebagai kondisi “apartheid”. Para hakim ICJ, baru satu kali memutuskan terjadi genosida, yaitu dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.
Pembelaan Suu Kyi atas tindakan para jenderal dikecam secara luas di Barat, tetapi terbukti populer di dalam negeri dengan publik yang sebagian besar tidak bersimpati dengan penderitaan warga Rohingya.