Ilustrasi Radikalisme di Kalangan ASN
Ilustrasi Radikalisme di Kalangan ASN

Masih Memupuk Hawa Nafsu Radikalisme, Bukti Kegagalan Puasa di Bulan Suci

Sejatinya, puasa ramadhan menjadi kompas moralitas untuk kehidupan beragama dan berbangsa ke arah yang lebih baik. Bulan ramadhan boleh pergi, tapi jejaknya harus tetap terpatri. Meninggalkan jejak puasa ramadhan dalam kehidupan selanjutnya adalah hal wajib bagi setiap mukmin, sebab hal itu adalah tanda terkabulnya puasa kita.

Puasa bagi umat Islam, tidak saja melatih seseorang menahan hawa nafsu di bulan suci saja, tapi, supaya nilai-nilai puasa terus hadir menghiasi perilaku kehidupan pasca ramadhan. Sebagai madrasah atau tempat melatih diri puasa seharusnya menciptakan kemuliaan akhlak di lapangan kehidupan, baik dalam kehidupan beragama maupun berbangsa.

Hawa nafsu harus dilawan dan dikendalikan, karena ia senantiasa mendorong manusia ke arah kejahatan dan mengajak untuk melakukan apa yang bertentangan dengan fitrah kebaikan. Seperti hawa nafsu radikalisme yang saat ini tumbuh dengan begitu massif di negeri kita. Hawa nafsu radikalisme adalah virus yang mengajak manusia untuk melakukan tindakan kekerasan yang bertentangan dengan fitrah kebaikan dan fitrah kemanusiaan, membujuk manusia supaya bersikap intoleran dan ujungnya adalah aksi-aksi terorisme.

Oleh sebab itu, Islam mewajibkan puasa ramadhan sebagai upaya pengendalian diri. Kemudian, Islam menjelaskan kriteria puasa yang dikabulkan dan tidak. Diantara indikator terkabulnya puasa adalah, selalu dihiasi oleh sifat kebaikan, kejujuran, senang kedamaian, menghargai perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain.

Sementara indikator tertolaknya puasa ramadhan, diantanya, yaitu masih adanya hawa nafsu radikalisme, sebab radikalisme-terorisme merupakan akumulasi nafsu kejahatan; kejahatan agama karena bertindak melakukan kejahatan atas nama agama dan kejahatan kemanusiaan karena tidak menghormati fitrah kemanusiaan dan fitrah perbedaan sebagai kehendak Tuhan.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Athaillah as Sakandari, siapa yang memetik buah dari amalnya secara segera di dunia, hal itu sebagai tanda Allah menerima amalnya.

Syaikh Ahmad Zarruq, dalam Syarhul Hikam as Syirkatu al Qaumiyyah, menjelaskan makna buah amal adalah faidah keagamaan dan keduniaan apapun yang muncul dari amal tersebut. Buah amal itu mewujud dalam tiga bentuk.

Pertama, merasa bahagia karena hilangnya kekhawatiran dan kesedihan. Sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an (Yunus: 62-64). Orang beriman yang cinta dan menjadi kekasih Allah tidak dihinggapi kekhawatiran dan kesedihan. Dan, seorang mukmin akan menerima kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kedua, memperoleh ketenangan hidup yang ditandai dengan keridhaan batin dan sifat qana’ah menerima pemberian Allah. Orang beriman akan selalu berada dalam kehidupan yang baik sebagaimana janji Allah (an Nahl: 97).

Ketiga, dibukanya hijab atau aling-aling rahasia atas penguasaan alam semesta. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh kekuasaan di bumi, meneguhkan agamanya dan mengganti ketakutan mereka dengan rasa aman (an Nur: 55).

Kebahagiaan, ketenangan dan terbukanya hijab atau penghalang atas kekuasaan Allah terhadap semesta merupakan tanda diterimanya amal ibadah. Sebaliknya, timbulnya kekhawatiran, ketakutan dan terhalang untuk memahami semesta sebagai ciptaan Allah adalah tanda suatu ibadah tidak diterima oleh Allah. Satu diantara rahasia alam semesta adalah kehendak Allah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya. Bahkan ditegaskan seandainya Alallah berkehendak mudah bagi-Nya untuk menyeragamkan manusia. Karena itu, perbedaan yang ada merupakan sunnatullah. Karena itu, orang yang beriman seharusnya memiliki sifat qana’ah (menerima dengan ikhlas) perbedaan itu.

Hawa nafsu radikalisme adalah hawa nafsu terganas. Suatu virus yang menginfeksi tubuh umat Islam, tidak hanya di Indonesia namun di seluruh belahan dunia. Radikalisme adalah bibit kejahatan yang bernatijah pada intoleransi beragama dan aksi-aksi kejahatan terorisme.

Virus radikalisme telah mengubah karakter beragama (Islam) seseorang secara signifikan. Yang seharusnya memiliki perangai cinta damai dan toleran, kelompok radikal justeru diliputi perasaan cemas dan khawatir atas keselamatan kelompok mereka. Merasa terancam oleh perbedaan, baik perbedaan agama, suku, etnis dan golongan.

Itu semua akibat hawa nafsu radikalisme yang membumbung tinggi sehingga menimbulkan sikap intoleran, kemudian melakukan aksi-aksi kekerasan seperti bom bunuh diri.

Puasa ramadhan sejatinya mampu memandu untuk terbebas dari hawa nafsu radikalisme. Latihan menahan diri untuk tidak membenci, menghindari sikap saling bermusuhan dan segala penyakit keburukan yang lain, sejatinya menjadi modal untuk menapaki kehidupan setelah ramadhan sebagai mukmin yang baik.

Hawa nafsu radikalisme, disamping menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan pada diri penganutnya juga menebarkan ketakutan dan kekhawatiran pada orang lain. Itulah kenapa hawa nafsu radikalisme disebut sebagai hawa nafsu terganas. Sehingga, bukan tanpa alasan kalau dikatakan “Hawa nafsu radikalisme adalah bukti kegagalan puasa di bulan suci”.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Santri

Semangat Jihad Santri Kini Bertransformasi Jadi Perjuangan Intelektual dan Kultural

Semarang — Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang jatuh pada Selasa (22/10) diperingati secara khidmat …

Gubernur Jatim Khofifah Parawansa hadiri Lirboyo Bersholawat

Hari Santri: Panggilan Suci Teguhkan Peran Santri Sebagai Penjaga Iman, Bangsa, dan Peradaban Dunia

Kediri — Hari Santri bukan sekadar peringatan, melainkan panggilan suci untuk meneguhkan peran santri sebagai …